Jumat 11 Oct 2013 01:39 WIB

BSA-Polri Buru Perusahaan Pengguna 'Software' Ilegal

software ilegal (ilustrasi)
software ilegal (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- BSA (The Software Alliance) bersama Kepolisian Republik Indonesia (Polri) melakukan 50 kali penindakan terhadap perusahaan pengguna "illegal software" atau piranti lunak ilegal selama Februari hingga September 2013.

"Razia di berbagai kota itu menghasilkan barang bukti sitaan software ilegal bernilai 1.500.000 dolar AS atau Rp 16,6 miliar," kata Kepala Perwakilan BSA di Indonesia, Zain Adnan dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (10/10).

Menurut Zain, penindakan yang dikomando Tim Reserse Kriminal dari sejumlah Kepolisian tingkat Resort itu dilakukan di Cikarang Utara, Cileungsi, Citeurup, Cilegon, Subang, Purwakarta dan Bogor di Provinsi Jawa Barat.

"Selain itu penindakan tersebut dilakukan pula di wilayah Batam di Provinsi Riau, Denpasar (Bali), Surabaya dan Malang (Jawa Timur) dan DKI Jakarta," katanya.

Menurut dia, penggunaan software ilegal itu ternyata sudah meluas di berbagai bidang industri manufaktur dan jasa. Perusahaan-perusahaan itu memproduksi, antara lain, suku cadang otomotif, produk elektronika, tekstil dan garment, insulasi plastik, lampu dan cermin hingga pengelolaan air limbah.

Jenis software yang dibajak, lanjut dia, antara lain, produk Adobe, Autodesk, Microsoft, Siemens Software, Symantec dan Tekla.

"Kebanyakan software itu sangat populer, seperti sistem operasi Windows dan anti virus Symantec, sehingga setiap komputer baru memerlukannya. Produk buatan Autodesk, Tekla dan Siemens adalah produk khusus untuk perancangan industri manufaktur, sehingga sering dibajak atau di-download secara ilegal," katanya.

Ia mengatakan, para pengelola perusahaan yang dirazia mengakui, produk ilegal sering dipilih karena harganya jauh lebih murah dibandingkan produk aslinya.

"Harga jual software palsu Rp 50.000 per program dan terkadang beberapa software digabungkan (bundling) dalam satu program bajakan," ujarnya.

Menurut Zain, perusahaan pengguna software ilegal tersebut akan membeli satu atau beberapa software asli, lalu membuat kopi dari software itu untuk seluruh jaringan komputernya.

"Software asli biasanya dijual dengan harga tinggi di atas 100 dolar AS sampai dengan puluhan ribu dolar," tuturnya.

Sebagian besar perusahaan yang dirazia adalah perusahaan berskala menengah hingga besar yang mestinya mampu membeli  produk software asli dengan harga pasar.

"Jumlah karyawan perusahaan garmen di kawasan industri yang dirazia misalnya, mencapai 8.000 orang dengan ratusan komputer yang mengendalikan berbagai mesin produksi besar," ucapnya.

"Temuan software bajakan di setiap perusahaan atau industri yang dirazia mencapai 90 persen sampai 95 persen. Kondisi ini tidak adil bagi perusahaan produsen software yang telah menginvestasikan dana besar untuk mengembangkan software-nya," kata dia.

Ia mengatakan penghasilan bisnis perusahaan yang dirazia Kepolisian itu sangat besar berkat memakai software itu, sehingga semestinya mereka bisa membeli software berlisensi asli.

"Melihat kondisi bisnis setempat, praktik semacam ini oleh perusahaan asing juga akan membunuh persaingan lokal hanya dengan mengurangi pengeluaran rutin dengan cara ilegal," ujarnya.

Hasil kajian dari BSA dan International Data Corporation, menyebutkan pembajakan software di Indonesia pada 2011 mencapai 86 persen. Nilai komersial dari software bajakan yang dipakai diestimasi sebesar Rp 12 triliun, jumlah yang besar untuk industri software.

Dari studi yang dilakukan Microsoft 2013 di lima negara Asia Tenggara 60 persen dari hard disk drive (HDD) di dalam 216 komputer yang dibeli secara acak, termasuk 100 unit yang dibeli di Indonesia, sudah dicemari oleh ratusan malware (program jahat). Sedangkan 100 persen dari sampel DVD berisi software bajakan yang dijual secara bebas telah terinfeksi oleh malware.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement