REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Keinginan pemerintah membentuk tentara siber (cyber army) mendapat respons positif dari parlemen.
“Menurut saya itu sangat bagus. Karena, kekuatan pertahanan negara saat ini harus mampu juga mengantisapsi berbagai ancaman di dunia siber,” tutur Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Ahmad Muzani, Kamis (10/10).
Ia mengatakan, ancaman yang harus dihadapi oleh negara di era modern ini tidak lagi terbatas pada ancaman militer. Tetapi juga berbagai ancaman yang memiliki karakteristik nonfisik seperti halnya dunia siber. Karena itu, kedaulatan negara di berbagai lini harus diperkuat.
Meskipun setuju dengan rencana pembentukan cyber army, Muzani menegaskan, ada aturan main yang mesti diperhatikan pemerintah. Yakni, harus ada mekanisme yang membedakan dan membatasi, agar tentara siber yang dibentuk nantinya tidak untuk menjamah wilayah-wilayah privasi warga negara.
“Ini sejak awal harus menjadi komitmen bersama, terutama pemerintah,” imbuhnya.
Menurutnya, negara harus melindungi hak-hak privasi warganya. Dengan begitu, secara prinsipal tentara siber tersebut harusnya bekerja untuk melindungi negara dari berbagai ancaman dunia maya, baik yang datang dari dalam maupun luar negeri. “Bukan untuk mengganggu wilayah privasi masyarakat.”
Kekhawatiran mengenai potensi lembaga pertahanan siber bakal menerobos data-data privasi warga negara cukup beralasan. Pasalnya, kasus seperti ini pernah terjadi di Amerika Serikat.
Beberapa waktu lalu, koran The Washington Post menerbitkan sejumlah dokumen yang menunjukkan badan keamanan nasional AS, National Security Agency (NSA), telah melanggar privasi warga ribuan kali dalam satu tahun.
Di antaranya berupa penyadapan email dan pembicaraan telepon. Dikutip dari BBC, temuan mengejutkan ini didapat setelah pihak surat kabar tersebut melakukan analisis atas audit internal NSA dan dokumen-dokumen lain yang dibocorkan Edward Snowden. Ia adalah pegawai yang pernah dikontrak untuk bekerja di lembaga intelijen AS.
Data dari Snowden ini kemudian diterbitkan media di Inggris dan AS, yang membuatnya diburu oleh aparat penegak hukum negeri Paman Sam itu.