REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Beberapa pakar pertanian mengatakan pertanian agroekologi merupakan solusi terbaik untuk menekan pemanasan global dan pengurangan pemakaian bahan kimia. Namun pro-kontra penerapan agroekologi di Indonesia berkembang karena minimnya lahan yang dimiliki petani-petani Indonesia.
Ahli di bidang Agroekologi, Prof Miguel A Altieri dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat, mengatakan teknologi ini telah berhasil meningkatkan produksi pangan. Sebuah penelitian yang dilakukan Pretty dan Hine pada tahun 2009, tambahnya telah mengevaluasi 16 proyek agroekologi yang tersebar di delapan negara Asia.
''Hasilnya adalah 2,86 juta rumah tangga secara subtansial telah menaikkan produksi pangan total pada 4.93 juta hektar,'' kata dia seperti dilansir dari siaran pers IPB, Kamis (20/6). Dengan penerapan agroekologi, tambahnya, bisa menjadi kantong pangan dunia dan mampu menekan pemanasan global.
Profesor di bidang agroekologi pada Department of Environmental Sciences, Policy and Management (ESPM), UC, Berkeley ini memaparkan hal tersebut dalam acara yang digelar di Ruang Senat IPB yang mengangkat topik “Who will feed us in the planet in crisis?”
Di Indonesia, System of Rice Intensification (SRI) adalah salah satu cara budidaya padi dengan pendekatan agroekologi. Sistem ini sudah menyebar di Cina, Indonesia, Kamboja, dan Vietnam dan sudah mencapai lebih dari jutaan hektare lahan dengan rata-rata peningkatan hasil sekitar 20-30 persen.
Prof Hidayat Pawitan, Guru Besar Geofisika dan Meteorologi IPB mengatakan, pendekatan agroekologi dikatakan mampu memberikan solusi cerdas. Namun, teknologi ini, menurutnya, membutuhkan lahan pertanian yang luas. ''Perlu dipertimbangkan lagi jika sistem ini akan diterapkan menyeluruh di Indonesia, karena akan terkendala masalah lahan, '' kata dia. Petani Indonesia, tambahnya, kebanyakan adalah petani gurem dengan lahan terbatas.