Jumat 31 May 2013 03:36 WIB

Siapa Lebih Berbahaya Bagi AS, Peretas Iran atau Cina?

Serangan siber dari Cina dan Iran (Ilustrasi)
Foto: WIKIMEDIA.ORG
Serangan siber dari Cina dan Iran (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Mei adalah bulan suram bagi keamanan siber Amerika Serikat. Pertama, pemerintahan Obama menuduh Cina membobol komputer pemerintah, kemungkinan besar mengeksploitasi kelemahan di militer AS. Lalu, pejabat AS mengumumkan bahwa sejumlah peretas, diduga disponsori pemerintah Iran, sukses menembus jaringan komputer yang mengoperasikan sistem perusahaan-perusahaan energi AS, memberi alat bagi Iran untuk menyabotase pembangkit listrik negara.

Pekan ini, Washington Post melaporkan bahwa mata-mata siber Cina telah meretas lebih dari dua puluhan nama besar dalam program persenjataan AS, di antaranya jet tempur F-35, program angkatan darat untuk menjatuhkan serangan rudal antarbenua, dan proyek kapal tempur AL AS, Littoral Combat.

Tidak semua ancaman siber memiliki bahaya sama besar, namun pertanyaan besarnya adalah: Siapa yang memiliki peluang ancaman lebih berbahaya, peretas Cina atau Iran?

Saat ini peretas Cina memang menyedot perhatian publik lebih besar didorong pemberitaan media di AS, terkini adalah laporan mendalam New York Times pada Februari lalu.

Laporan itu menuturkan operasi peretasan sangat rahasia oleh pemerintah berbasis di Sanghai, dan juga serangan berasal dari Cina terhadap profil-profil kakap, termasuk sejumlah media di AS.

Hanya saja sejumlah pakar menyebut meski Cina memiliki kemampuan lebih besar untuk melakukan perang siber dan terus aktif mencuri rahasia-rahasia AS, serangan Iran dinilai mutlak bisa lebih mengkhawatirkan. Alasannya peretas negeri Persia itu langsung menyerang infrastruktur vital dan mengembangkan kemampuan yang memicu kerusakan serius dalam sistem listrik dan tenaga di AS.

"Cina terlibat dalam mata-mata siber, mungkin bisa dipahami," ujar kepala pejabat keamanan di Mandiant yang menjadi konsultan ratusan perusahan, Richard Bejtlich. "Kita bisa tahu batas mana yang akan mereka lewati dan mana yang tidak." imbuhnya kepada Mother Jones, Kamis (30/5)

"Namun Iran, negara ini lebih menginginkan kerusakan. Mereka jalan terus dan dan menghapus semua sistem komputer, mereka mengkorupsi semua data dan sistem, menyebabkan banyak masalah."

Pakar keamanan siber dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), James Lewis, yang beberapa kali menjadi konsultan Gedung Putih, juga mengamini pendapat Bejtlich. "Serangan Iran terhadap infrastruktur vital bisa jadi ancaman paling besar, Iran jauh lebih tidak stabil dan tidak bisa dipastikan."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement