Kamis 07 Feb 2013 06:32 WIB

Apple Musuh Open Source Lebih Buruk Daripada Microsoft?

Digital Right Management (ilustrasi)
Foto: SEVEN HEAVEN
Digital Right Management (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Sebelum Linux diciptakan, Microsoft telah dicibir oleh anggota komunitas free software--yang muncul pada 1960-an. Komunitas ini menyebut produk keluaran Microsoft cacat di desain. Praktek bisnis perusahaan juga dikecam karena menghambat inovasi. Itu berita lama.

Kondisi saat ini yang membuat komunitas open source geleng-geleng kepala adalah Apple dengan jejak rekam keterbukaan yang dinilai bahkan lebih parah dari Microsoft.

Perusahaan kreasi Steve Jobs ini diakui melahirkan produk-produk cantik dan lebih intuitif ketimbang produk perusahaan besutan Bill Gates. Hanya saja ia dianggap sama sekali tidak 'cantik’ ketika menyoal penghormatan fundamental terhadap kebebasan software.

Salah satu kritik datang dari Free Software Foundation yang mengecam iPhone. Banyak kebijakan seputar iPhone mensyaratkan semua aplikasi harus diinstal dari pusat 'lemari besi' Apple, alias App Store, sehingga  memungkinkan perusahaan itu tetap memonopoli software meski telah berpindah ke peranti pengguna.

Pasalnya, saat proses penginstalan berlangsung, Apple juga memastikan menyertakan kode pengunci ke iPhone pengguna agar software tersebut tidak bisa diotak-atik, tidak dikopi apa lagi dimodifikasi.

Catatan Apple dalam komputer dekstop juga tidak lebih baik. Begitu pula soal kehadiran teknologi pengunci software yang dikenal dengan istilah Digital Right Management (DRM) dalam iTunes yang disebut sangat mengganggu.

Sikap Apple itu membuat gusar komunitas open source karena faktanya, sistem operasi Mac dkk--yang menyelamatkan perusahaan tersebut tidak sampai gulung tikar satu dekade lalu--juga hasil modifikasi kernel Unix berbasis open source. Bukan rahasia lagi Steve Jobs meminjam kernel itu dari Universitas Berkeley pada 1980-an.

Mesin HTML Safari apalagi. Ia berasal dari kode dasar Konqueror, browser web asli versi KDE--salah satu tipe dekstop OS Linux. Ironisnya meski perangkat lunak terbuka tak terpisahkan dari kesuksesan Apple, kebijakan-kebijakan perusahaan tetap bertentangan dengan keterbukaan.

Satu tokoh dunia open source, Christopher Tozzi, doktor lulusan AS yang juga ikut mengembangkan Ubuntu Server Edition mengaku keheranan. Ia juga lebih sulit mencerna ketika kritik terhadap Apple ternyata nyaris tabu di komunitas pengguna Ubuntu dan juga sebagian besar pengguna Linux. Bahkan diskusi seputar topik ini dilarang di kalangan pakar GNU beraliran garis keras.

"Saya tidak tahu mengapa. Bisa jadi Steve Jobs sudah meninggalkan begitu banyak jejak produk mengilap dan ramping yang membuat orang terpana bila dibanding dengan produknya Bill Gates," ujarnya.

"Mungkin juga kita takut dengan reaksi loyalis Mac yang sebagian besar juga pengguna Linux. Atau mungkin penganut kebebasan software menganggap ini tak penting. Tapi ini sulit dipercaya," imbuhnya.

Ia tak ingin pendapatnya dianggap seruan menyerang Apple. Sebaliknya ia lebih menyukai komunitas free-software lebih fokus menggunakan waktu dan seluruh kekuatan untuk meningkatkan Linux ketimbang mengkritik praktik bisnis kompetitor yang curang dan kasar dan menyerahkan penilaian soal kebebasan software ke pengguna.

Tapi mau tak mau, industri komputasi terus bergerak menuju piranti jinjing berkinerja tinggi, di mana Apple telah menggelontorkan investasi besar. Tozzi melihat kondisi itu membut konfrontasi langsung antara dunia Linux dan Mac kian tak terelakkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement