Senin 05 Nov 2012 07:43 WIB

Raksasa Elektronik Jepang Tumbang?

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Taufik Rachman
Toko Elektronik di Akihabara Jepang
Foto: web-japan.org
Toko Elektronik di Akihabara Jepang

REPUBLIKA.CO.ID,LONDON - Konglomerat elektronik Jepang kian mengalami kerugian kumulatif dari bisnisnya. Panasonic, Sharp, dan Sony sudah terlalu banyak kehilangan keunggulan teknologinya, dikalahkan oleh Apple, Samsung, dan produsen-produsen Cina.

Kerugian kumulatif Panasonic lima tahun terakhir hampir mencapai 25 miliar dolar AS. Tahun lalu, produsen PlayStation dan televisi Sony telah kehilangan 5,7 miliar dolar AS. Sedangkan Sharp telah kehilangan pendapatan 5,6 miliar dolar AS tahun ini.

Perusahaan-perusahaan tersebut harus menyelematkan diri sebelum mereka dinyatakan bangkrut. Masalahnya, sebagian pengusaha Jepang mempertahankan usahanya dengan cara membuat hutang dan mencari dana pinjaman lebih besar lagi. Kebiasaan tersebut sudah mereka lakukan selama 20 tahun terakhir.

"Mereka tak mungkin bisa bertahan hidup sendiri. Kecuali, pesaing-pesaing mereka bersedia membeli perusahaan yang bersangkutan," kata salah satu analis dari Lembaga Pemeringkat Internasional, Fitch Ratings, seperti dikutip dari the Guardian, Senin (5/11).

Perusahaan-perusahaan elektronik Jepang telah kehilangan miliaran investasi mereka akibat tersaingi produk-produk Cina yang melakukan copy cut produk-produk Jepang dan menjualnya dalam harga murah.

Ditambah lagi, kata sang analis, sengketa pulau Senkaku atau Diaoyu antara Beijing dan Tokyo membuat keadaan kedua negara kian memburuk.

Misalnya membandingkan produk panel surya buatan Jepang dan Cina. Meski produk Jepang lebih awet dan tahan lama, namun harganya tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan produk buatan Cina. Sementara, kebanyakan konsumen memiliki wawasan lebih pendek, sehingga membeli produk Cina.

Fitch memperkirakan, jika ketiga raksasa elektronik Jepang itu gulung tikar, maka tingkat pengangguran di Jepang akan meningkat drastis. Jika saat ini tingkat pengangguran di Jepang adalah yang terendah di antara negara-negara anggota G7, sekitar 4,4 persen, maka level pengangguran bisa meningkat tajam hingga sembilan persen. "Secara realistis, ini bisa terjadi kapan saja," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement