Rabu 15 Aug 2012 19:34 WIB

Roti Tanpa Pengawet, Mau?

Rep: antara/ Red: Taufik Rachman
 Lima mahasiswa Jurusan Teknobiologi Universitas Surabaya (Ubaya), menunjukkan hasil ciptaan mereka Roti Sourdough di kampus Ubaya Tenggilis Surabaya, Rabu (15/8).
Foto: Eric Ireng/Antara
Lima mahasiswa Jurusan Teknobiologi Universitas Surabaya (Ubaya), menunjukkan hasil ciptaan mereka Roti Sourdough di kampus Ubaya Tenggilis Surabaya, Rabu (15/8).

REPUBLIKA.CO.ID, Tim mahasiswa Jurusan Teknobiologi Universitas Surabaya (Ubaya) menciptakan roti tanpa bahan pengawet, namun bisa tahan lama melebihi daya tahan roti berbahan pengawet.

"Kami bersyukur, roti yang berbahan dasar tepung terigu, tepung bekatul, kacang tunggak (tolo), dan ragi kefir grains itu meraih juara favorit dalam PIMNAS XXV di UGM," kata anggota tim, Febriani Valentine, di Surabaya, Rabu.

Didampingi empat rekannya, Yuwono Njotowidjojo, Prilla Linggaryani Suryaatmaja, Dewi Christanti Trisulo, dan Meliawati, ia menjelaskan roti yang diberi nama "Sourdough" atau roti asam itu bisa tahan lama karena ada bakteri asam laktat di dalamnya.

"Kalau roti berbahan pengawet itu bisa bertahan hingga tiga hari, namun roti buatan kami bisa bertahan hingga 5-6 hari, karena bahan-bahan yang ada mengandung rasa asam dan ada bakteri asam laktat di dalamnya," katanya.

Tentang cara pembuatannya pun mudah, karena semua bahan diaduk dengan "mixer", lalu didiamkan selama belasan jam. "Kalau dengan ragi kefir grains perlu waktu 12 jam untuk bisa mengembang, sedangkan kalau dengan ragi impor dari AS perlu 16 jam," katanya.

Namun, roti Sourdough itu tidak bisa mengembang terlalu besar. "Hasil uji coba kami menemukan perbandingan tepung terigu, tepung bekatul, dan kacang tunggak (kacang beras/tolo) yang ideal adalah 8:1:1," katanya.

Ditanya keunggulan roti asam ciptaan mereka, ia mengatakan tahan lama hingga 5-6 hari, berbahan alami asli Indonesia yakni kacang tunggak, dan kaya gizi.

"Kalau kadar protein untuk roti pada umumnya sekitar 15 persen, maka roti sourdough memiliki kadar protein hingga 17,03 persen. Seratnya juga lebih tinggi yakni 5,5 persen, sedangkan roti pada umumnya hanya dua persen seratnya. Lemaknya juga rendah karena ada tepung bekatul di dalamnya," katanya.

Mengenai harga, ia menyebut harganya juga relatif murah yakni Rp3.500 per 100 gram, padahal roti lain seharga Rp3.900 per 70 gram. "Jadi, lebih murah dan lebih bergizi," kata mahasiswi semester 8 itu.

Namun, katanya, riset pembuatan roti sourdough itu cukup mahal, karena menghabiskan Rp9 juta. "Kami terbantu dengan hibah Ditjen Dikti Kemendikbud melalui PKM (program kreativitas mahasiswa) untuk mengikuti PIMNAS XXV di UGM Yogyakarta pada 4-9 Juli 2012," katanya.

Ia menambahkan Sourdough juga memiliki keunggulan dapat dijadikan alternatif makanan bagi penderita autis, karena penderita autis itu `bermasalah` dengan tepung terigu yang berkadar protein tinggi, sedangkan Sourdough ada paduan tepung terigu, tepung bekatul, dan kacang tunggak yang merupakan protein nabati.

"Ide dari gagasan itu bermula dari ngobrol kami berlima tentang sebagian besar teman kos yang jika hendak ke kampus jarang makan pagi, sehingga kebanyakan teman membeli roti untuk pengganjal rasa lapar. Kami merasa kasihan, karena roti yang dimakan mengandung pengawet," katanya.

Mengenai kendala pembuatan Sourdough yang alami itu, ia mengaku kesulitan yang dihadapi adalah mencari pengganti ragi sebagai pengembang yang cocok untuk kedua jenis tepung yang digunakan, hingga akhirnya ditemukan ragi ragi impor dari Amerika atau ragi kefir grains yang tepat.

"Tapi, dewan juri PIMNAS sangat mengapresiasi karya kami, karena mereka bilang ide kami cukup orisinil," katanya, didampingi staf Humas Ubaya, Hayuning Dewi Purnama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement