REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG – Luar biasa apa yang dilakukan Sutarjo. Demi mengatasi polusi udara, guru biologi SMPN Unggulan, Indramayu, Jawa Barat ini mengembangkan teknologi yang mampu menyerap polusi udara.
Teknologi yang dikembangkannya dinamai Sappujagad, akronim dari Sarana Penyerap Polusi Udara Jaga Gangguan dan Dampaknya. Berawal dari pengetahuan awal yang ia miliki bahwa air kapur mampu mengikat CO2 dan zat polutan lainnya, Sutarjo mulai mengembangkan Sappujagad ini.
Prinsip kerja Sappujagad, kata Sutarjo, mirip seperti blower yang menyaring udara. Bedanya, hasil udara yang disaring oleh Sappujagad kemudian direaksikan dengan air kapur, hingga menghasilkan kristal polusi udara. Kristal polusi udara menggambarkan tingkat polusi udara di suatu tempat. Semakin banyak volume kristal polusi udara berarti semakin tinggi tingkat polusi udara.
“Kristal polusi udara kemudian bisa dimanfaatkan untuk pupuk,” ujar Sutarjo ketika ditemui Republika pada stand Pemda Indramayu di RITech Expo Hateknas ke 17 bertempat di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), Bandung, Jawa Barat, Kamis (9/8).
Uji coba kristal polusi udara sebagai pupuk Sutarjo lakukan dengan menyiram tanaman nonpangan, seperti kelapa sawit, cocor bebek, juga tanaman hias seperti lili paris menggunakan larutan air yang dicampur dengan kristal polusi udara. Satu liter air dicampurkan dengan sepuluh gram kristal polusi udara.
Sutarjo kemudian membandingkan antara tanaman yang diberi larutan kristal polusi udara dengan tanaman yang tidak diberi larutan. Dari hasil pengamatan, tanaman yang diberi larutan polusi udara lebih subur dibandingkan dengan tanaman yang tidak diberi larutan polusi udara. “Tanaman yang diberi larutan polusi udara pertumbuhan daunnya lebih hijau dan tunasnya lebih bagus,” ujar Sutarjo.
Namun, kristal polusi udara dari Sappujagad hanya bisa digunakan untuk pupuk tanaman nonpangan. “Kristal polusi udara dari Sappujagad sedang diuji lebih lanjut sebelum digunakan pada tanaman pangan,” kata Sutarjo.