REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI), dibuat bukan hanya karena persoalan hukum. Namun juga dilihat dari aspek moral.
Sekjen MUI, Muh Ichwan Syam, mengatakan, mindset masyarakat masih harus dibangun. Perlu adanya penyadaran terhadap sesuatu yang halal dan haram.
"Apabila hal tersebut tidak diperhatikan, kita akan menjadi bansa yang bodoh, bangsa yang gampangan, dan tidak menghargai prestasi intelektual," ujar Ichwan, Selasa (7/8).
Ichwan menambahkan bahwa, dalam fatwa ini bukan hanya dari aspek hukumnya saja. Namun perlu dilihat juga aspek moralnya.
"Karena sejatinya orang-orang yang mengambil jalan pintas dan hak cipta orang lain bisa menimbulkan kemandegan intelektual, persaingan yang tidak sehat, dan kurang ada tertib hukum," ujar Ahmad.
Lebih lanjut Ahmad menjelaskan bahwa tindakan pembajakan dan pemalsuan merupakan pencuri yang mengambil hak dan ide orang lain. Hal tersebut merupakn tindakan yang dilarang dan menimbulkan keresahan dalam masyarakat.
Terkait dengan Fatwa MUI No 1 Tahun 2005 tentang Perlindungan HKI, Dirjen HKI Ahmad M. Ramli, menjelaskan bahwa masyarakat memang perlu bimbingan dalam hal menggunakan barang.
Karena kemungkinan masyarakat tidak tahu bahwa pemalsuan barang itu dilarang. Oleh karena itu, Ditjen HKI Kemenkumham dan MUI akan membuat nota kesepahaman untuk melindungi hak intelektual dari pemalsuan.
"Apabila hak intelektual tidak dilindungi maka Indonesia akan kehilangan inovator dan motivator, kalau itu terjadi maka Indonesia akan tertinggal jauh. Selain itu dengan adanya HKI dapat melindungi negeri sendiri secara sosio kultural," ujar Ahmad.
Sementara itu Sekjen Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP), Justisiari, mengharapkan fatwa MUI ini bisa mengubah mindset mengenai pelanggaran HKI, yakni pelanggaran HKI tidak hanya berdampak terhadap ekonomi tapi juga agama. "Fatwa MUI ini diharapkan bisa mengubah mindset soal pelanggaran HKI di pelaku bisnis dan masyarakat umum," ujarnya.