Senin 16 Jul 2012 10:09 WIB

BTS Diperbatasan, Langkah Cerdik Menjaga Kedaulatan RI

BTS Telkomsel di Maluku Utara
BTS Telkomsel di Maluku Utara

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pemerintah Kalimantan Timur membangunan  tiga menara telekomunikasi di wilayah perbatasan RI-Malaysia. Infrastruktur ini berada di wilayah kabupaten Malinau. Bekerjasama dengan pemerintah setempat, Telkomsel berencana memasang BTS di tiga menara itu.

Kehadiran Telkomsel di wilayah perbatasan, tak urung, menyedikan pilihan layanan komunikasi baru bagi warga setempat. Bukan rahasia umum lagi bahwa di wilayah perbatasan sinyal operator telekomunikasi Malaysia hadir lebih dulu ketimbang sinyal operator kita. Warga memanfaatkan layanan itu, karena tidak ada pilihan lain.

Lantas, setelah ada sinyal Telkomsel di Malinau, apakah warga setempat akan beralih menjadi pelanggan Telkomsel. Ini pekerjaan rumah bagi Telkomsel dan pemerintah setempat. Tak mudah mengubah kebiasaan seseorang. Mengganti nomor telepon juga tak mudah. Apalagi jika ada disparitas tarif yang lebar, antara operator Malaysia dengan operator nasional.

Dibandingkan dengan Malaysia, kita memang tertinggal untuk urusan seperti ini. Lemahnya kepedulian di wilayah perbatasan, dalam banyak kasus menyebabkan fasilitas yang disediakan negara jiran lebih banyak dinikmati warga di perbatasan. Termasuk layanan telekomunikasi.

Tak mengherankan, ada semacam ketergantungan warga terhadap negara jiran. Hal ini menjadi pemandangan biasa. Soal sembako, misalnya. Banyak warga di perbatasan yang membeli dari negara jiran. Warga desa Sanjingan yang tinggal di perbatasan dengan Serawak, misalnya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti gula pasir, mereka 'mengimpor' dari negara tetangga.

Pertimbangannya simpel. Barang mudah didapat, harga relatif lebih murah dan kualitasnya lebih baik. Keterbatasan infrastruktur seperti jalan, menjadikan pasokan barang dari Sambas--ibukota kabupaten--, seringkali terhambat. Untuk mencapai Sambas, harus menempuh perjalanan hingga delapan jam menggunakan transportasi darat. Dengan kendala seperti ini bisa dipastikan harga ritel semakin mahal, karena beban ongkos kirim.

Kembali ke soal BTS. Penyediaan infrastruktur telekomunkasi di daerah perbatasan akan memberikan banyak manfaat bagi pemerintah RI, baik dari sisi keamanan, penegakan hukum maupun pelayanan publik. Akses telekomunikasi akan membuka isolasi suatu daerah. Infrastruktur seperti menara BTS bisa menjadi ikon kehadiran pemerintahan RI di suatu wilayah.

Di sisi lain, dengan hadirnya akses telekomunikasi di suatu daerah, banyak hal bisa dilakukan baik oleh pemerintah setempat maupun jajaran keamanan. Kita bisa mengimplementasikan teknologi terkini dengan memanfaatkan infrastruktur yang ada untuk memantau wilayah perbatasan kita. Bila setiap 10 KM di wilayah perbatasan ada satu menara BTS, banyak hal bisa dilakukan pemerintah untuk memantau daerah perbatasan. Mengelola wilayah sepanjang 10 KM tentu saja lebih mudah dibandingkan dengan mengelola wilayah sepanjang 100 KM.

BTS juga bisa menjadi semacam patok perbatasan yang bersifat permanen dan tak bisa dipindah-pindah. Kasus pemindahan patok secara sepihak oleh negara jiran Malaysia banyak terjadi. Konon ada patok yang dipindahkan hingga 5 kilometer dari posisi semula. Ini, tentu saja merugikan kita. Belajar dari kasus ini, pembangunan menara BTS merupakan sebuah langkah yang cerdik.

Bila tak ingin wilayah kita digerogoti negara jiran, pembangunan menara BTS menjadi sebuah solusi yang strategis. Masalahnya sekarang, apakah operator mau membangun BTS di daerah perbatasan?

Model yang dikembangkan di Malinau, Kalimantan Timur bisa menjadi sebuah model. Di wilayah ini Pemerintah Provinsi menyediakan menara BTS. Operator seperti Telkomsel memanfaatkan menara itu untuk menempatkan BTSnya. Win-win solution, memang. Pembangunan menara BTS menjadi semacam insentif, agar operator mau masuk ke wilayah itu.

Apakah semua provinsi mau melakukan hal yang sama dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur? Membutuhkan dana yang besar untuk membangun menara BTS di daerah perbatasan. Mengingat panjangnya wilayah perbatasan kita. Panjang wilayah perbatasan antara Serawak dengan Kalimantan Timur, misalnya panjangnya lebih dari 1.000 KM.

Bila untuk 10-15 KM dibangun satu BTS, butuh sekitar 100 menara BTS. Bila biaya pembangunan satu BTS katakanlah Rp 1 miliar, perlu dana sekitar Rp 100 miliar untuk pembangunan BTS. Biaya yang dikeluarkan boleh jadi dua lipat dibandingkan dengan membangun BTS di daerah lain. Belum tentu semua pemerintah provinsi mampu dan mau menyediakan fasilitas seperti ini.

Namun memperhatikan strategisnya keberadaan menara BTS--baik sebagai ikon kehadiran pemerintah RI maupun infrastruktur layanan publik--, dana besar seharusnya tidak jadi masalah. Mengingat kedaulatan wilayah RI tak ternilai harganya. Di sisi lain, banyak sumber dana untuk membiayai program seperti ini.

Misalnya saja pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang dikelola Kemenkominfo. PNBP yang dikelola Kemenkominfo antara lain dimanfaatkan untuk membiayai program universal service obligation (USO) telekomunikasi, termasuk penyediaan akses internet kecamatan. Triliunan rupiah digelontorkan Kominfo untuk program ini.

Andaikata Rp 1 triliun PNBP Kemenkominfo dialokasikan untuk pembangunan BTS di daerah perbatasan, semua wilayah perbatasan di darat boleh jadi telah tercover layanan telekomunikasi. Belum lagi dukungan dana dari pemerintah provinsi, pemerintah pusat termasuk operator.

Dalam waktu singkat, Pemerintah bakal memiliki patok permanen yang tak bisa digeser-geser seenaknya di seluruh wilayah perbatasan. Pemantauan dan pengamanan kawasan lebih mudah. Publik akan menikmati layanan telepon. Tunggu apa lagi?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement