Kamis 14 Jun 2012 09:10 WIB

Rekam Jejak Operator Jadi Syarat Dapatkan Kanal 3G?

Pekerja memasang alat Remote Radio Unit (RRU) pada menara Base Transmitter System (BTS).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Pekerja memasang alat Remote Radio Unit (RRU) pada menara Base Transmitter System (BTS).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Kemenkominfo diharapkan tidak menetapkan harga terlalu tinggi dalam "beauty contest" penambahan frekuensi seluler generasi ke tiga (3G) pada kanal 11 dan 12. Diperkirakan operator harus merogoh kocek Rp 480 miliar untuk mendapatkan kanal tersebut.

"Pemerintah jangan menetapkan harga terlalu tinggi kepada operator yang ikut "beauty contest" untuk mendapatkan dua kanal tersisa di 2,1 GHz. Jika terlalu mahal, imbasnya akan turut membebani konsumen," kata peneliti dari Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, di Jakarta, Rabu.

Menurut Heru, yang perlu dicermati pemerintah dalam penataan frekuensi tersebut adalah syarat-syarat dalam "beauty contest" di mana sumber daya alam terbatas tidak jatuh ke tangan yang salah.

"Rekam jejak sangat penting menjadi pertimbangan. Jangan sampai frekuensi hanya dijadikan alat untuk menaikkan nilai jual perusahaan oleh pemenang nantinya," tegas Heru.

Ia memperkirakan operator telekomunikasi yang ingin mendapatkan tambahan kanal harus menyiapkan dana lumayan besar untuk mendapatkan satu kanal karena tingginya harga yang ditetapkan pemerintah.

Heru menghitung, untuk mendapatkan satu kanal operator harus mengeluarkan dana sekitar Rp 352 miliar--Rp 480 miliar, yang terdiri atas "up front fee" dan Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi tahun pertama.

"Angka tersebut naik cukup signifikan jika dibandingkan biaya yang dikeluarkan Telkomsel, Indosat dan XL di saat mendapatkan kanal kedua beberapa tahun lalu," ujarnya.

Ketika itu Telkomsel diperkirakan mengeluarkan dana sebesar Rp 320 miliar, Indosat sebesar Rp 352 miliar, dan XL sekitar Rp 487,6 miliar. Adapun Telkomsel dan Indosat dikenakan "up front fee" sebesar Rp 160 miliar.

Namun, sejak September 2009 pemerintah memasukkan pro rata berdasar BI rate dari angka Rp 160 miliar yang menjadi acuan harga penawaran dasar. Hal inilah yang mengakibatkan operator seperti XL membayar lebih mahal ketika ingin mendapatkan kanal kedua.

Hal yang sama juga berlaku bagi Tri dan Axis yang dihitung dengan biaya penawaran dasar setelah memasukkan BI rate sekitar Rp 180 miliar.

"Saya kalkulasi, jika regulator menggunakan angka Rp160 miliar ditambah BI rate dua tahun, untuk "up front fee" saja sudah sekitar Rp 200 miliar. Jumlah total yang dibayar itu bisa berbeda jika dalam pelunasan membayar BHP menggunakan berjenjang tidak "full" atau "flat" tiap tahun," ujar Heru.

Ditambahkannya, jika operator memilih membayar BHP secara flat maka biaya yang dikeluarkan pada tahun pertama bisa mencapai Rp 480 miliar, sedangkan jika yang dipilih BHP tahunan berjenjang akan sekitar Rp 352 miliar.

Sementara itu, pengamat telekomunikasi Mas Wigrantoro Roes Setiyadi mengatakan, pemerintah dalam mekanisme penambahan kanal tersebut lebih bijaksana dengan memperhatikan kondisi terkini industri telekomunikasi.

"Frekuensi merupakan sumber daya terbatas yang harus dikelola dengan baik sehingga dapat memberikan manfaat bagi perekonomian dan menjamin kepastian dalam industri telekomunikasi nasional," kata Mas Wigrantoro.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement