Selasa 08 May 2012 14:51 WIB

BRTI dan Kemenkominfo Didesak Tuntaskan Kasus Sedot Pulsa

waspadai pencurian pulsa
Foto: .
waspadai pencurian pulsa

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Kasus penyedotan pulsa yang tak kunjung tuntas, mengundang perhatian kalangan praktisi hukum dan teknologi informasi. Dalam diskusi mengenai kasus ini di Jakarta Selasa (8/5) mereka mendesak Kemenkominfo dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) turun tangan menuntaskan kasus ini.

BRTI dan Kemenkominfo dinilai tidak menggunakan kewenangan yang dimiliki untuk menyelesaikan masalah itu. Bahkan ada kecenderungan Kemenkominfo dan BRTI menyerahkan masalah itu kepada polisi. Padahal dua lembaga ini memiliki wewenang dalam mengatasi persoalan itu.

Kasus penyedotan pulsa telah ditangani Mabes Polris sejak tujuh bulan lalu. Kasus dengan tiga tersangka telah dilimpahkan ke Kejaksaan Agung. Kabarnya, Kejaksaan Agung mengembalikan berkas dari Mabes Polri karena dinilai belum lengkap.

Dari diskusi yang diselenggarakan Sulaiman N. Sembiring, Hardiyanto, and Partners Law Firm(SHP) ini sejumlah kalangan mengingatkan agar Polri maupun Kejaksaan Agung berhati-hati dalam menangani kasus ini. Mereka juga mengingatkan berbagai pihak untuk mencermati sejumlah peraturan perundang-undangan di bidang telekomunikasi khususnya terkait dengan persoalan kerugian konsumen.

Guru Besar FH Universitas Parahyangan, Prof Asep Warlan Yusuf mengingatkan bahwa izin penyelenggara telekomunikasi harus merupakan alat kontrol masyarakat dan disertai dengan aturan yang mengiringinya.

 

“Terkait dengan sanksi, agar dihindari mungkin adanya kriminalisasi dan mengarahkan kepada hukum pidana setiap ada sengketa telekomunikasi. Keberhasilan dalam mencegah kerugian konsumen justru terdapat pada sanksi administratif dan perdata,” katanya.

­­­Ada sejumlah sanksi administratif, ada peringatan tertulis, pergantian kerugian pelanggan, penghentian layanan, sampai pencabutan izin. Menurut Asep, apabila dibawa keranah pidana, maka hanya berakibat pada perorangan saja, sedangkan bila dibawa ke perdata maka kerugian pelanggan akan dapat diselesaikan, pelaku usaha pun bisa lebih jera.

 

Di banyak negara, kebijakan yang berlaku terhadap kasus-kasus layanan SMS berbayar serupa, pada umumnya juga dilakukan melalui ganti rugi dan pengenaan sanksi administratif, mulai dari proses paling halus yaitu melalui initial warning, service suspension, service removal, denda, banned from providing, hingga terakhir baru hukuman pidana.

 

Namun, meski ada ketentuan pidana pada langkah akhir, tidak ada negara yang menerapkan sanksi pidana sebagaimana praktik di Afrika Selatan, Inggris, Belanda, Jerman, dan Singapura.

 

Oleh karena itu, Sulaiman N. Sembiring mengharapkan pemerintah dan BRTI mencarikan alternatif terbaik dan komprehensif untuk menyelesaikan kasus ini.

 

“Harus dicatat juga bahwa selama 7 bulan terakhir pelaku usaha telah mendapatkan ‘hukuman’ berupa tidak bolehnya menyelenggarakan layanan SMS berbayar  dan merosotnya pendapatan perusahaan,” tuturnya.

Di sisi lain, dampak dari kasus ini adalah terpuruknya industri konten di tanah air. Pasalnya operator enggan menyediakan layanan berbasis SMS, karena tak ingin bermasalah.

 Ketua Umum Indonesian Mobile & Online Content Association (Imoca) Haryawirasma mengatakan penyedia konten yang hanya tergantung dari SMS broadcast dan SMS premium sudah banyak yang atau kolaps mati dan memberhentikan karyawannya. Kalau angka perusahaan yang kolaps saya kurang tahu persis, namun yang jelas kalau tidak mati ya mengalihkan bisnis lain," tuturnya.

Pandangan senada dilontarkan Ketua Umum Indonesian Mobile Multimedia Association (Imma) T. Amershah mengungkapkan CP yang kolaps cukup banyak, dan pihaknya hampir setiap hari melihat karyawan CP yang diberhentikan agar usaha tetap bisa bernafas.

"Kami sudah tidak bisa promo lagi dan gak dapat pembayaran kecuali dari Indosat. Telkomsel bayar 50 persen, sedangkan operator lainnya 100 persen belum dibayarkan bahkan ada yang sampai dua tahun belum dibayarkan ke CP," keluhnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement