REPUBLIKA.CO.ID,Kemajuan teknologi kedokteran, utamanya transplantasi, bukanlah ilmu yang diperoleh dari hasil merenung semalaman. Sebaliknya, ia merupakan hasil penelitian dan kerja keras selama bertahun-tahun. Menurut satu legenda, transplantasi telah dikembangkan selama berabad-abad, bahkan sejak 200 tahun sebelum Masehi. Kala itu, sepasang anak manusia bernama Pien Csiao dan Hua To berjanji akan mentransplantasikan jantung mereka. Tentu saja, Anda sah-sah saja bila tak mempercayai hal itu. Namanya juga legenda.
Yang pasti kalangan kedokteran modern lebih suka menyebut abad ke-18 sebagai tonggak awal perkembangan transplantasi. Kala itu, para ahli mulai bereksperimen dengan obyek binatang maupun manusia. Pada awalnya, sejumlah percobaan transplantasi tak membuahkan hasil memuaskan. Tapi pada paruh pertama abad ke-20, percobaan-percobaan mengenai teknik transplantasi terus diasah dan dipertajam. Alhasil, pada tahun 1954, operasi transplantasi organ pertama di dunia dilakukan di Amerika. Saat itu, Dr Joseph Murray berhasil mentransplantasi ginjal lewat operasi yang berlangsung di Boston, Massachusetts.
Lalu, pada pertengahan dekade 60-an, untuk pertama kali dilakukan transplantasi liver dan pankreas. Operasi transplantasi ini membuktikan kemampuan para dokter masa itu untuk menyelamatkan nyawa dengan cara menghilangkan organ tubuh yang terkena penyakit atau tak berfungsi dengan organ lain yang sehat. Setelah sukses dengan transplantasi ginjal, liver dan pankreas, para ahli kemudian berjuang keras untuk tujuan yang lebih besar: transplantasi jantung. Dan akhirnya, Dr Christian Barnard, ahli bedah dari Afrika Selatan berhasil menorehkan prestasinya dengan tinta emas tatkala pada Desember 1967 berhasil mentransplantasi jantung dari seseorang ke orang lainnya.
Sejak itu, 'status' transplantasi berubah dari suatu operasi eksperimental menjadi suatu prosedur yang diakui manfaatnya untuk menyembuhkan penyakit jantung tingkat lanjut. Tak puas sampai di sini, para ahli kedokteran kemudian bekerja keras lagi untuk menyempurnakan teknik transplantasi dan mengembangkan obat-obat baru. Sejak itu, kisah sukses tentang operasi transplantasi organ-organ penting, makin sering terdengar.
Meski teknologi kedokteran dalam hal transplantasi makin maju, toh masih saja ada kendala yang kerap dihadapi pasien. Dalam hal ini, ada dua kendala utama dalam transplantasi yaitu: penerimaan dan ketersediaan. Artinya, suatu organ kadang kala tidak bisa dengan mudah diambil dari dari dalam tubuh seseorang lalu dicangkokkan pada tubuh orang lain.
Memang, perlu ada kesamaan genetik antara penerima dan pemberi organ untuk mencegah reaksi penolakan. Itu mengapa, organ dari anggota keluarga memiliki peluang lebih besar untuk diterima (oleh si penerima organ). Namun reaksi penolakan bisa diredam menyusul ditemukannya obat-obat penekan sistem kekebalan tubuh. Obat-obatan inilah yang membuat transplantasi semakin menjanjikan dan memungkinkan para penerima organ bisa menikmati hidup lebih lama.
Lalu bagaimana dengan kendala yang kedua: ketersediaan? Seringkali, kendala ini juga sangat memusingkan. Kendala ini terjadi lantaran permintaan akan organ jauh melebihi jumlah organ yang didonorkan. Inilah yang kemudian memicu munculnya perdagangan organ tubuh secara gelap. Muncul pula ide agar jual beli organ tubuh ini dilegalkan. Tentu saja, semua ini menimbulkan perdebatan.
Terlepas dari perdebatan ini, para ahli terus berupaya untuk menyempurnakan teknik-teknik transplantasi tersebut. Saat ini misalnya, para neurolog bereksperimen untuk mentransplantasi otak. Sementara para ahli kanker di Manchester, Inggris melakukan transplantasi testis yang pertama di dunia. Meski demikian, diantara kemajuan ini, muncul pula pertanyaan-pertanyaan yang berkait dengan soal etika. Misalnya saja, ada kalangan yang mencemaskan implikasi lantaran seseorang 'mengenakan' tangan dan sidik jari orang lain? Lalu bagaimana pula dengan seseorang yang menjalani transplantasi otak? Bukankah otak merupakan pusat identitas manusia?