Rabu 21 Mar 2012 21:37 WIB

F22 Raptor Boleh Tercanggih, Tapi Soal Keamanan Mencemaskan

Jet tempur F22  Raptor
Jet tempur F22 Raptor

REPUBLIKA.CO.ID, CHICAGO - Kapten Jeff Haney, 31, meninggal saat pesawat Raptor, F-22, yang ia piloti jatuh di padang gurun Alaska pada bulan November 2010. Dalam gugatan, jandan mendiang, Anna Haney berpendapat bahwa F-22 mengalami "cacat tidak masuk akal". Sistem oksigennya, sistem kendali lingkungan, dan sistem pendukung kehidupan yang seharusnya bekerja, tidak beroperasi hingga menyebabkan kematian suaminya.

Gugatan itu adalah corengan terbaru untuk pesawat kontroversial F-22, yang ditegaskan Angkatan Udara As, sebagai jet tempur paling canggih. Pesawat itu mulai digunakan sejak tahun 2005 namun belum pernah digunakan dalam pertempuran di Irak, Afghanistan atau Libya.

"Salah satu masalah yang ditemukan berkaitan dengan pegangan oksigen darurat yang ternyata berada di posisi sulit untuk diraih dalam gelap," ujar Kongresman sekaligus Komite Angkatan Bersenjata, John Noonan. "Sehingga saat ini AU tengah melakukan riset untuk melakukan penyesuaian terhadap lokasi pegangan tersebut."

Angkatan Udara mengkonfirmasi dalam sebuah pernyataan bahwa sekitar 200 pegangan, yang masing-masing dibuat dengan biaya $ 47 (Rp500 ribu), telah dikirim, termasuk suku cadangnya. Pegangan baru itu sudah dipasang di jet-jet tempur Raptor yang diparkir di Pangkalan Gabungan Elmendorf-Richardson di Alaska, di mana Kapten Haney dulu bertugas.

Ketidakmampuan Haney untuk menarik pegangan dalam kecelakaan fatal yang ia alami menjadi satu masalah yang dikutip dalam laporan investigasi kecelakaan dirilis oleh Angkatan Udara pada bulan Desember.

Dalam laporan tersebut yang ditulis rinci menit-demi menit, peneliti menemukan bahwa pasokan oksigen Haney yang dihentikan secara otomatis setelah sistem komputer pesawat mendeteksi kebocoran udara di dalam mesin. Sistem pesawat, seperti yang didesain, langsung mematikan sistem oksigen untuk melindungi diri dari kerusakan lebih lanjut.

Untuk menyelamatkan dirinya dan pesawat, Haney, yang mengenakan seragam tebal cuaca dingin, seharusnya membungkuk dan dengan tangannya bersarung, menarik cincin hijau yang berada di bawah tempat duduknya di samping kaki kirinya untuk mengaktifkan sistem darurat, kata laporan itu.

Angkatan Udara menyalahkan kecelakaan pada "perhatian Haney yang teralih" ke mendapatkan oksigen melalui masker, bukannya mengaktifkan sistem darurat. Respon itulah yang berkontribusi terhadap kecelakaan, tulis laporan./

Dalam gugatannya, janda Haney berpendapat bahwa pesawat itu "dirancang, diproduksi, didistribusikan dan dijual dengan sistem cadangan oksigen yang berbahaya dan cacat, yang hanya dapat diaktifkan secara manual, dan petunjuk yang mekanisme aktivasi yang terletak di bawah dan di belakang pilot."

Gugatan mengatakan lokasi pegangan terletak "di daerah yang sulit dan bahkan tidak mungkin diraih seorang pilot saat dia mengendalikan manuver pesawat canggih dengan kecepatan melebihi kecepatan suara dan juga dengan gaya gravitasi berkali lipat.

Lockheed, perusahaan yang mendesain dan memproduksi pesawat menolak menjawab gugatan, yang diajukan di pengadilan negeri di Chicago. Sebaliknya, perusahaan mengeluarkan pernyataan menolak tuduhan itu dan mengumumkan rencananya untuk menggugat balik.

"Hilangnya pilot dan pesawat pada bulan November 2010 adalah peristiwa tragis, dan kami bersimpati dengan keluarga atas kehilangan mereka," kata pernyataan itu. "Kami sadar bahwa keluhan dengan berbagai klaim yang terkait dengan kecelakaan itu telah diajukan kepada pengadilan di Cook County, Illinois. Kami tidak setuju dengan tuduhan tersebut."

Kontraktor lain yang yang bekerja pada F-22 - seperti Boeing Co, Honeywell International Inc dan Pratt & Whitney - menyatakan tidak akan berkomentar terhadap pertanyaan yang melibatkan tuntutan hukum.

Selama bertahun-tahun, pilot F-22 pilot telah melaporkan puluhan insiden di mana sistem oksigen jet tidak memberi mereka cukup udara, menyebabkan tekanan di dalam. Alasan ini pula yang menyebabkan seluruh armada dihanggarkan tahun lalu selama hampir lima bulan.

Dewan penasehat ilmiah independen kini bekerja di bawah arahan Angkatan Udara mempelajari isu-isu keselamatan di pesawat. Meskipun laporan ini belum diumumkan ke publik, Angkatan Udara Kepala Staf Jenderal A. Norton Schwartz mengatakan bulan lalu bahwa dewan penasehat tidak menemukan penyebab masalah oksigen. Angkatan Udara memutuskan pesawat itu aman untuk kembali ke langit.

"Kami belum mengidentifikasi kesalahan teknik tertentu," kata Schwartz dalam pidato disponsori oleh Pusat Studi Strategis dan Internasional di Washington, "tetapi sejumlah cara telah kita lakukan untuk memastikan bahwa pasokan oksigen cukup, dalam sebuah pesawat canggih dengan kinerja tinggi yang beroperasi dalam rentang ketinggian sangat luas. Tujuannya untuk melindungi operator dan mempertahankan kapasitas fisiologis mereka agar tetap bisa beraksi. "

Setelah jet kembali mengudara pada pertengahan September, Angkatan Udara mengatakan, ada sembilan insiden di mana pilot F-22 pilot selama penerbangan melaporkan gejala hipoksia - kondisi tubuh disertai mual, kelelahan ,sakit kepala, atau pingsan ketika tubuh kekurangan oksigen. Empat kasus malah terjadi persis Februari lalu.

Menurut Angkatan Udara, masing-masing pesawat, ramping bersayap intan itu dibuat dengan biaya $ 143 juta (Rp1,32 triliunan). Bila ditambah upaya pemutakhiran, biaya penelitian dan pengembangan, U.S. Government Accountability Office memperkirakan  F22 bakal menyedot uang pembayar pajak hingga 412 juta dolar untuk setiap unitnya.

sumber : Business Insider
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement