Kamis 22 Dec 2011 09:06 WIB

Jalan Siput Penataan Frekuensi

Pekerja memasang alat Remote Radio Unit (RRU) pada menara Base Transmitter System (BTS).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Pekerja memasang alat Remote Radio Unit (RRU) pada menara Base Transmitter System (BTS).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Polemik seputar penataan kanal frekuensi 2.1 Ghz berakhir sudah. Pekan lalu, Kementrian Komunikasi dan Informatika memutuskan tidak ada perubahan menyangkut alokasi kanal yang digunakan masing-masing operator.

Dengan keputusan itu Telkomsel yang kini berada di kanal 4 dan 5, tak perlu pindah kanal. Sebelumnya Telkomsel diminta pindah dari kanal 4 ke kanal 6. Pertimbangannya, pemerintah berencana mengalokasikan lima operator telekomunikasi masing-masing dua kanal secara berurutan (contiguous).

 

Bila Telkomsel pindah kanal, kanal 1 dan 2 bakal dialokasikan untuk Hutchinson CP Telecommunication (HCPT) pemenang merek Tri, Natrindo Telepon Seluler (Axis) kanal 3 dan 4), Telkomsel (5,6), Indosat (7,8) dan XL (9,10). Namun Telkomsel terkesan menolak pindah kanal.Soal itu yang kemudian memicu kontroversi. Ada yang mendukung langkah Telkomsel, ada yang menolaknya. Regulator sendiri terus melakukan pembicaraan dengan manajemen Telkomsel agar mau pindah kanal.

Bukan tanpa alasan Telkomsel menolak pindah kanal. Ada sejumlah pertimbangan yang disampaikan Telkomsel. Misalnya kanal yang dikuasai telah dimanfaatkan untuk melayani 25 juta pelanggan. Pindah kanal dikhawatirkan akan menganggu pelayanan kepada pelanggan.

Karena pada proses pemindahan kanal, Telkomsel harus mematikan jaringan. Karena jaringan dimatikan praktis pelanggan tidak bisa mendapatkan pelayanan. Ini tentu saja menjadi masalah serius. Selain jumlah pelanggan besar, sebagian besar pelanggan ada di kawasan Jabodetabek. Lebih dari itu proses ini bisa memakan waktu hingga 16 hari.

Tentu saja ada banyak implikasi yang timbil terkait dengan matinya jaringan hingga 16 hari itu. Mulai dari komplain, gugatan hingga ditinggalkan pelanggan. Jangan-jangan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) juga ribut dengan matinya jaringan selama proses pindah kanal, sekalipun jaringan mati karena mengikuti kebijakan regulator yang notabene rekomendasi BRTI.

Setelah proses pindah kanal selesai, masih ada proses transisi lagi agar layanan kembali pulih secara normal. Ini butuh waktu. Andaikata dihitung dengan uang, berapa potential loss yang dialami Telkomsel? Lalu apa ada jaminan dalam proses pindah kanal operator lain tidak melakukan akuisisi pelanggan.

Untuk pindah kanal itu sendiri Telkomsel diperkirakan harus merogoh kocek Rp 86 miliar. Hal seperti ini, barangkali, sering luput dari perhatian banyak kalangan. Termasuk kalangan DPR maupun regulator sendiri. Sehingga pindah kanal dianggap sebagai sesuatu yang sederhana secara teknis.

Tak jelas, mengapa BRTI tidak belajar pada kasus TelkomFlexi. Atasnama penataan frekuensi, TelkomFlexi dan StarOne harus hengkang dari frekuensi 1900 Mhz ke frekuensi 800 Mhz. Untuk proses pindah kanal, ternyata butuh waktu hingga dua tahun. Selama kurun waktu itu TelkomFlexi praktis menghentikan ekspansi dan pembangunan jaringan. Dampaknya, TelkomFlexi kehilangan pelanggan hingga 30-an persen.

Polemik pindah kanal tak urung memunculkan sinyalemen ada intervensi asing dibalik penataan frekuensi 2.1 Ghz. Sinyalamen seperti ini dikaitkan dengan kemungkinkan terjadi akusisi pelanggan oleh operator lain yang secara kebetulan mayoritas sahamnya memang dikuasai asing saat Telkomsel mematikan jaringan.

Uniknya, ditengah kontroversi itu KPPU ikut nimbrung dan berencana melakukan audit ada tidaknya monopoli frekuensi 2.1 Ghz. Langkah KPPU tentu saja menimbulkan pertanyaan publik. Bukankah frekuensi didapatkan melalui mekanisme tender. Alokasi kanal ditentukan oleh regulator. Lantas monopolinya ada dimana.

Yang jelas, bila Telkomsel harus pindah kanal, tidak tertutup kemungkinan kasus yang dialami TelkomFlexi akan dialami juga saudara kandungnya, Telkomsel. Lebih dari itu, pindah kanal dikhawatirkan akan menimbulkan dampak lanjutan di bursa saham. Bagaimanapun juga Telkomsel adalah anak perusahaan Telkom.

Telkom tercatat sebagai salah satu perusahaan dengan kapitalisasi besar di bursa. Apa yang dialami Telkomsel--salah satu sumber pendapatan utama Telkom--, mau tak mau akan berdampak pada kinerja Telkom dan pada gilirannya mempengaruhi bursa.

Ada efek domino dari perpindahan kanal yang diklaim sederhana oleh sejumlah kalangan itu. Karena efek domino itulah manajemen Telkomsel menolak pindah kanal. Regulator rupanya menyadari dampak negatif dari pindah kanal tadi. Belakangan muncul kabar, Telkomsel tak jadi pindah kanal.

Urungnya Telkomsel pindah kanal pada gilirannya juga menimbulkan suatu pertanyaan baru, mengapa BRTI mengusulkan skenario frekuensi berurutan. Pertanyaan selanjutnya, mengapa kanal yang tersisa sudah dikapling terlebih dahulu, tanpa melalui mekanisme tender. Bila model pengkaplingan seperti ini diterapkan, lantas apa artinya tender?

Soal tender juga mengusik pertanyaan publik. Tiga operator harus mengikuti tender untuk mendapatkan alokasi 5 Mhz frekuensi 2.1 Ghz. Setelah melalui mekanisme tender, Telkomsel, Indosat dan XL mendapatkan masing-masing 5 Mhz. HCPT dan NTS tak ikut tender, namun belakangan mendapatkan alokasi 5 Mhz.

Untuk kanal kedua (second carrier), dua operator yakni Telkomsel dan XL mengajukan permohonan penambahan kanal. Pemerintah kemudian membuka tender yang diikuti tiga operator. Lagi-lagi HCPT damn NTS tak ikut tender untuk second carrier. Mengapa keduanya tak ikut? Optimistis mendapatkan kanal kedua tanpa ikut tender atau frekuensi 5 Mhz sudah cukup.

Masalah lain yang juga mengusik perhatian publik, barangkali adalah konsep frekuensi berurutan tadi. Sejauh yang bisa diamati, belum ada regulasi yang mengharuskan frekuensi berurutan. Secara teknis, boleh jadi, tidak ada aturan dari International Telecommunication Union bahwa kanal 3G harus berurutan. Lalu, mengapa muncul wacana seperti itu?

Kontroversi pindah kanal yang mewarnai tahun 2011, menjadi pengalaman berharga bagi regulator yang tengah melakukan penataan kanal. Saat ini masih ada empat kanal di frekuensi 2.1 Ghz yang belum dimanfaatkan. Pemerintah berencana membuka tender untuk kanal 11 dan 12.

Tidak fair kiranya apabila dari empat kanal hanya dua kanal saja yang ditenderkan. Mengingat tender pada dasarnya bersifat terbuka dan diikuti oleh peserta yang telah memenuhi persyaratan. Dalam konteks frekuensi 2.1 Ghz,masing-masing operator memiliki kewajiban yang bersifat mengikat.

Sekadar mengingatkan,Keputusan Menteri Kominfo Nomor : 19/KEP/M.KOMINFO/2/2006 diatur antara kewajiban pemenang tender. Misalnya, pada pasal 14 disebutkan bahwa dalam enam tahun operator harus membangun layanan minimal pada 14 provinsi dan masing-masing provinsi mencakup minimal 30 persen populasi. Atau dalam lima tahun telah membangun layanan di 12 provinsi dengan cakupan minimal 30 persen populasi.

Dengan merujuk pada ketentuan itu, operator yang tidak memenuhi kewajiban tentu saja akan dikenai sanksi. Syarat dimaksud, tentu saja menjadi semacam syarat wajib bagi operator yang akan mengikuti tender untuk second carrier dan seterusnya bila dimungkinkan. Lantas, apakah para pengguna kanal 2.1 Hhz telah memenuhi syarat dimaksud?

Kisruh kanal 2.1 Ghz--bila boleh disebut demikian--, harus menjadi pengalaman pertama dan terakhir bagi regulator yang akan menyiapkan alokasi frekuensi untuk mendukung layanan long term evolution (LTE). Terlepas dari berapa frekuensi yang akan digunakan dan berapa kanal yang akan dialokasikan, prinsip konsistensi kebijakan harus menjadi rujukan utama regulator.

Ini berarti sejak awal harus disiapkan skenario pembagian kanal terlebih dahulu, bila konsep berurutan ingin diterapkan. Pendekatan ini perlu diterapkan guna menghindari kemungkinan terjadinya bongkar pasang kanal di kemudian hari. Hal ini akan mengeliminasi munculnya masalah dan aneka tudingan yang dialamatkan ke regulator.

Mempertimbangkan bahwa frekuensi merupakan aset nasional yang terbatas, maka pemanfaatan frekuensi harus optimal dan untuk kepentingan nasional yang lebih luas, bukan semata-mata kepentingan bisnis operator seluler. Dalam hal ini regulator harus tegas dan rasional saat melakukan tender frekuensi.

Bila pengguna kanal 3G dibebani kewajiban sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kominfo Nomor : 19/KEP/M.KOMINFO/2/2006, pendekatan serupa tentu saja harus diterapkan untuk pengguna kanal LTE. Pendekatan ini dimaksudkan agar frekuensi yang ada dimanfaatkan sesuai peruntukan. Jangan sampai frekuensi yang ada digunakan untuk keperluan yang lain. Persyaratan seperti ini sekaligus menjadi tolok ukur, apakah operator cukup mendapatkan satu kanal saja atau harus ditambah hingga tiga atau empat kanal.

Tarik ulur soal alokasi kanal, rupanya menjadi kendala dalam penataan frekuensi. Penataan frekuensi yang seharusnya simpel dan bisa dilakukan dengan mudah--karena sumber daya ini dibawah kendali pemerintah dan operator wajib mengikuti tender --, ternyata bisa berlarut-larut dan memakan waktu lama. Mengapa? Wallahualam.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement