REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Lokasi pasti jatuhnya satelit non-aktif milik NASA, Upper Atmosphere Research Satellite (UARS) dengan nomor katalog 21701, yang diprediksi mengalami atmospheric reentry (masuk lagi ke wilayah atmosfir) ke bumi pada 23 atau 24 September, diperkirakan telah jatuh di kawasan Kanada, siang tadi. Dari jumlah serpihan satelit yang mencapai 26, tidak satupun jatuh di wilayah Indonesia.
Serpihan UARS diperkirakan jatuh antara pukul 11.16 hingga 11.30 WIB, dengan wilayah sebaran mencapai 800 kilometer (km). Hal itu disampaikan peneliti bidang matahari dan antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Abdul Rachman. “Pukul berapa tepatnya, itu belum bisa dikonfirmasi,” katanya saat dihubungi Republika, Sabtu petang.
Menurut dia, sejak Sabtu (24/9) pagi, pihaknya telah memprediksi bahwa Indonesia tidak akan menjadi lokasi jatuhnya serpihan UARS tersebut. Hal itu dikarenakan serpihan satelit tidak melintasi wilayah Indonesia pada saat ketinggiannya di bawah 122 kilometer.
Menurut Rachman, yang juga dikutip di situs resmi Lapan, UARS terakhir melintasi wilayah Indonesia pada Jumat (23/9), mulai pukul 03.01 WIB sampai dengan pukul 16.53 WIB.
Rachman menjelaskan, UARS berada pada ketinggian 122 km pada Sabtu (24/9) pukul 11.07 WIB di Samudera Pasifik, lalu naik lagi di atas 122 km sebelum melintasi Amerika Utara, lalu turun lagi di bawah 122 km di Samudera Atlantik.
UARS kemudian melintasi Afrika dan naik lagi di selatan Afrika, sebelum akhirnya kembali turun di selatan Australia dan melintasi Samudera Pasifik.
Sebelumnya, NASA memperkirakan UARS akan jatuh pada waktu-waktu antara pukul 23.23 GMT, Jumat (23/9) kemarin dan Sabtu (hari ini) pukul 01.09 GMT, atau sekitar pukul 06.23 dan 08.09 WIB hari ini, pada rentangan 57 derajat LU sampai 57 derajat LS.
Material seberat kurang lebih 6,5 ton itu telah menarik perhatian dunia karena NASA telah mengumumkan bahwa seseorang berpeluang terkena langsung serpihan UARS dengan perbandingan 1:3.200.
Satelit yang didesain untuk membantu para ilmuan mempelajari percampuran gas-gas pelindung bumi dari kerasnya lingkungan luar angkasa itu diluncurkan pada 12 September 1991 oleh kru pesawat ulang alik STS-48. Pada 2005, satelit tersebut dinonaktifkan, saat empat dari 10 instrumennya tidak lagi berfungsi.