REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR - Peneliti Surfactant & Bioenergy Research Center Institut Pertanian Bogor (SBRC-IPB) Sri Windarwati memperkenalkan biopelet, yakni jenis bahan bakar padat berbasis limbah sebagai alternatif energi pemanfaatan biomassa.
Dalam keterangan tertulis yang disampaikan Humas IPB di Bogor, Jawa Barat, Selasa (20/9), disebutkan bahwa Sri Windarwati mengangkat tema itu pada seminar nasional teknologi kimia aplikatif.
Pada seminar bertema 'Bahan Bakar Nabati Atasi Kelangkaan Minyak Bumi' yang diselenggarakan Ikatan Mahasiswa Kimia (IMAKAHI) IPB pada Minggu (18/9), yang dihadiri lebih dari 400 peserta, ia mengemukakan bahwa biopelet adalah jenis bahan bakar padat berbasis limbah biomassa yang memiliki ukuran lebih kecil dari briket.
"Proses yang digunakan adalah pengempaan (pressing) dengan suhu dan tekanan tinggi, sehingga membentuk produk yang seragam dengan kapasitas produksi tinggi," katanya menambahkan.
Ia menjelaskan bahwa potensi biomassa atau limbah pertanian Indonesia sangat besar yakni 49,8 ribu Mwe, sedangkan yang dimanfaatkan baru 445 Mwe.
Dikemukakannya bahwa biomassa yang dapat digunakan sebagai bahan baku biopelet, di antaranya adalah bungkil sawit, sekam padi, batang ubi kayu, tongkol jagung, tempurung kelapa, kulit kacang, kulit kopi dan sebagainya.
"Teknologi biopelet sudah diperkenalkan sejak lama di luar negeri. Pembuatan biopelet diproduksi pertama kali di Swedia pada tahun 80-an. Seiring waktu, dikembangkan perusahaan biopelet di sana. Sedangkan teknologi ini baru dikembangkan di Indonesia," katanya menambahkan.
Sementara itu, staf ahli Kementerian Negara Riset dan Teknologi Agus Rusiana Hotman mengatakan bahwa jumlah produksi minyak bumi terbatas, sementara tiap tahun konsumsinya meningkat tujuh persen, sehingga dibutuhkan berbagai alternatif energi untuk masa depan.
"Strategi pengembangan energi nasional ke depan dengan meningkatkan kegiatan diversifikasi energi, di antaranya memanfaatkan potensi sumber biomassa," katanya.
Menurut dia, tantangan pengembangan bahan bakar nabati masih belum kompetitif dibanding dengan bahan bakar minyak (BBM), dikarenakan masih adanya subsidi BBM. "Kemungkinan solusinya adalah meningkatkan efisiensi dalam proses pembuatan BBN sambil menata kebijakan 'pricing' dan subsidi yang lebih tepat sasaran," demikian Agus Rusiana Hotman.