Kamis 09 Jun 2011 16:22 WIB

Gempa Mengintai Jakarta

Peta lempeng tektonik dunia
Foto: NASA
Peta lempeng tektonik dunia

Baru-baru ini media di Indonesia ramai memberitakan pernyataan Andi Arief, staf khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana Alam tentang adanya kabar mengenai gempa sebesar 8,7 skala Richter (SR) yang akan mengguncang Jakarta dan sekitarnya.

Banyak pihak yang menyesalkan adanya pernyataan dari pejabat publik sekelas Andi Arief yang dapat menimbulkan kepanikan missal di tengah masyarakat. Tentu kita paham betul dengan tipikal masyarakat Indonesia yang masih minim akan pemahaman akan bencana gempa dan mudah sekali untuk dipengaruhi. Namun hikmah apa sebenarnya yang bisa kita ambil secara bijak dari pernyataan pejabat staf khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana Alam tersebut?

Sudah dari jaman dahulu Indonesia terkenal rawan akan terjadinya bencana gempa bumi, bahkan hampir setiap hari terjadi gempa diwilayah Indonesia dari yang magnitudonya kecil hingga yang besar. Hal ini tentu sangat tidak terlepas dari kondisi geografis Indonesia yang terletak diantara perbatasan 3 lempeng aktif tektonik dunia; lempeng Australia (Australian Plate) disebelah Selatan, lempeng India (Indian Plate) disebelah Barat dan lempeng Filipina (Philippines Plate) di sebelah Timur Laut. Sedangkan kepulauan Indonesia sendiri berada di atas lempeng Eurasia (Eurasian Plate).

Kondisi ini yang juga sangat menguntungkan bangsa Indonesia dengan berbagai sumber kekayaan alam mineral, minyak dan gas bumi. Cukup adil buat bangsa Indonesia dengan kondisi yang rawan akan bencana, namun disisi lain juga mempunyai kekayaan alam yang sangat luar biasa banyaknya. Lalu bagaimana dengan ramalan Andi Arief, staf khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana Alam tentang akan adanya gempa sebesar 8,7 skala Richter (SR) yang akan mengguncang Jakarta?

Peristiwa gempa di Indonesia tidak terlepas dari aktivitas 3 lempeng tektonik yang mengelilingi kepulauan Indonesia. Interaksi antar lempeng menyebabkan tumpukkan energi pada lempeng yang pada akhirnya suatu saat akan terlepas dalam bentuk gempa bumi. Interaksi Eurasian Plate disebelah barat dengan Indian Plate menyebabkan daerah sebelah barat sepanjang Sumatera rawan akan gempa.

Begitu juga dengan interaksi Eurasian Plate dengan Australian Plate di sebelah Selatan menyebabkan sepanjang pantai selatan Jawa rawan akan gempa. Begitu pun dengan wilayah Maluku yang rawan gempa akibat interaksi Eurasian Plate dengan Philippines Plate. Jadi tidak mengherankan jika

sebagaian besar wilayah Indonesia rawan akan terjadinya gempa. Eurasian Plate yang relatif stabil bergerak searah jarum jam dengan kecepatan 18-23 mm/tahun mendapat tekanan (subduksi) dari Australian Plate yang bergerak ke arah 55 derajat Utara-Timur dengan kecepatan 66-75 mm/tahun. Hal ini yang menyebabkan terjadinya gempa di sepanjang pesisir selatan pulau Jawa. Sedangkan disebelah barat Indian Plate bergerak ke Utara relatif terhadap Eurasian Plate dengan kecepatan 44-70 mm/tahun. Sedangkan disisi sebelah Timur Philippines Plate bergerak menunjam kearah barat dengan kecepatan 72-80 mm/tahun.

Kembali ke pertanyaan semula, bagaimana dengan ramalan Andi Arief, staf khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana Alam tentang akan adanya gempa sebesar 8,7 skala Richter (SR) yang akan mengguncang Jakarta? Gempa bumi, tentu pasti bisa saja terjadi dan melanda Jakarta. Mengingat posisi Jakarta yang relatif dekat dengan zona subduksi (subduction zone) batas antar lempeng Eurasian Plate dan Australian Plate maupun dengan Indian Plate.

Akan tetapi sampai hari ini, belum ada seorang pun ilmuwan yang bisa meramalkan kapan akan terjadi gempa dan berapa besar magnitudo ataupun intensitas yang ditimbulkannya. Tentu kita bisa belajar dari Jepang, negara yang selama ini dianggap sebagai kiblat keilmuan tentang gempa bumi di dunia internasional. Nyatanya Jepang pun tidak bisa meramalkan akan terjadinya gempa tersebut.

Peramalan gempa hanya bisa 'sedikit' dilakukan dengan analisa data rekaman kejadian gempa yang menimpa di wilayah tersebut pada waktu-waktu sebelumnya. Data kejadian gempa puluhan bahkan ratusan dan ribuan tahun yang telah lalu bisa menjadi acuan untuk memprediksi gempa dimasa yang akan datang. Karena peristiwa gempa akan terjadi secara berulang (periodik) di tempat yang sama (daerah batas antar lempeng). Jadi diperlukan manajemen rekaman data yang bagus untuk bisa memperkirakan suatu even kemungkinan gempa akan terjadi. Sedangkan kekuatan gempa biasanya dinyatakan dengan besaran magnitudo maupun intensitas.

Magnitudo gempa adalah besaran yang menyatakan besarnya energi seismik yang dilepaskan oleh sumber gempa. Besar magnitudo gempa ditentukan berdasarkan perhitungan logaritmik dari amplitudo gelombang gempa yang terekam pada seismograf setelah gempa terjadi. Perhitungan magnitudo gempa biasanya menggunakan ukuran Skala Richter, diambil dari nama ilmuwan California Institute of Technology Charles F. Richter. Magnitudo gempa dinyatakan dengan bilangan 1 sampai 10 yang menyatakan tingkat kekuatan gempa. Sedangkan intensitas gempa adalah tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh gempa dipermukaan bumi. Skala intensitas gempa biasanya menggunakan ukuran skala Mercalli atau skala Mercalli yang dimodifikasi (Modified Mercalli Intensity), diambil dari nama ilmuwan vulkanologis berkebangsaan Italia yang bernama Guiseppe Mercalli. Intensitas gempa dinyatakan dengan bilangan 1 sampai 12 yang menyatakan tingkat kerusakan yang diakibatkan gempa. Jadi kedua besaran gempa tersebut hanya bisa diketahui setelah terjadinya gempa.

Selanjutnya hikmah apa yang bisa dipetik dari pernyataan Andi Arief, staf khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana Alam tentang akan adanya gempa sebesar 8,7 skala Richter (SR) yang akan mengguncang Jakarta? Tentu ada hikmah positif yang bisa kita petik :

1. Perlunya penyuluhan terhadap masyarakat tentang pemahaman yang lebih baik tentang kondisi wilayah Indonesia yang memang rawan akan bencana gempa bumi sebagai konsekuensi dari kondisi geografis kepulauan Indonesia. Penyuluhan tentang mitigasi bencana perlu dilakukan secara dini mulai dari usia pra sekolah ataupun anak-anak.

2. Perlunya manajemen data gempa yang bagus dari kejadian waktu-waktu sebelumnya. Data base kegempaan ratusan bahkan ribuan tahun yang silam untuk semua willayah kepulauan Indonesia. Serta peta kegempaan wilayah Indonesia yang terpadu dan terintegrasi.

3. Persiapan infra struktur yang bagus, dengan peningkatan kualitas bangunan terhadap percepatan tanah. Sehingga bisa meminimalkan tingkat kerugian dan korban jiwa yang diakibatkan oleh gempa.

4. Bersatu dalam menangani masalah bencana, meringankan beban yang terkena bencana. Memaksimalkan fungsi dari badan koordinasi penanggulangan bencana dan pengumpulan dana, sehingga meminimalkan adanya tangan-tangan yang tega berbuat nista diantara bencana.

Eko Minarto

PhD student, Institute of Geophysics, University Hamburg, Germany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement