REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA - Geolog ITS Surabaya Dr Amien Widodo menyatakan, publik Jepang siap dengan bencana alam, termasuk gempa bumi yang menjadi langganan mereka.
"Bedanya, Jepang menyadari akan kondisi yang dihadapi dan mereka tidak punya pilihan lain. Karena itu mereka meneliti, mengembangkan teknologi konstruksi, sistem peringatan dini, mengembangkan bangunan tahan gempa, dan melatih serta memahamkan kepada seluruh rakyat," tuturnya.
Bahkan, mereka melakukan gladi atau simulasi menghadapi gempa secara rutin dalam jangka waktu tertentu. Karena sosialisasi sudah berlangsung lama maka masyarakat Jepang sudah terbangun budaya keselamatan. "Sosialisasi yang terus menerus hingga melahirkan budaya keselamatan itu, terlihat saat terjadi gempa 11 Maret 2011 yakni masyarakat Jepang tidak panik. Mereka reflek bersembunyi di bawah meja sampai getaran selesai, lalu mereka keluar ruangan antre satu persatu tanpa berebut," ujarnya.
Demikian pula saat evakuasi naik kendaraan merekapun tetap antre satu persatu, dan tidak ada keluhan trauma akibat gempa. "Yang menarik, berita-berita media di Jepang lebih banyak mendorong untuk bangkit dan bukan berita rebutan dan atau merampok bantuan/makanan, atau berita belum mendapatkan bantuan dan lain sebagainya," katanya.
Tidak hanya itu, meledaknya PLTN Fukushima yang diikuti meningkatnya radiasi radioaktif juga menimbulkan masalah tersendiri, baik bagi masyarakat Jepang maupun masyarakat internasional, sehingga pihak berwenang mulai meluaskan radius bahaya yang awalnya 20 kilometer, kemudian 30 km, dan sekarang menjadi 50 km (19/3).
Ia menegaskan bahwa pelajaran juga bisa diperoleh dari masyarakat Pulau Simeuleu, Aceh, ketika terjadi gempa besar yang memicu tsunami pada 26 Desember 2004. "Bencana yang menewaskan 165.708 korban jiwa dan nilai kerusakan yang ditimbulkan mencapai lebih dari Rp 4 triliun itu, juga melanda 11 negara dengan korban tewas lebih dari 225.000 jiwa dan menimbulkan kehancuran hebat di banyak kawasan pesisir," katanya.
Namun, masyarakat Pulau Simelue Aceh yang aktif dan selalu belajar dari kejadian gempa dan tsunami yang pernah terjadi telah mengembangkan sistem deteksi dini dengan teriakan "semong" yang berarti air laut surut dan semua orang harus segera lari menuju ke bukit.
"Istilah semong selalu disosialisasikan dengan dongeng legenda oleh tokoh masyarakat setempat secara turun temurun, sehingga istilah ini jadi melekat dan membudaya di hati setiap penduduk Pulau Simeuleu. Istilah semong ini dikembangkan sejak tahun 1900 dan istilah ini pula yang menyelamatkan hampir seluruh rakyat Pulau Simelue dari amukan tsunami," ucapnya, menjelaskan.
Oleh karena itu, kawasan barat Sumatera dan selatan Jawa hendaknya segera mempelajari kejadian bencana di masa lampau dan belajar dari bencana serupa di tempat lain serta membentuk komunitas siaga tsunami di tingkat RT yang terkoordinasi dengan BNPB, BPBD, BMKG, PMI, Perguruan Tinggi, dan sebagainya.