JAKARTA--Makin keras saja persaingan ponsel Cina --populer dengan sebutan ponsel merek lokal-- memperebutkan ceruk pasar. Tak hanya bersaing dengan sesama merek lokal--yang jumlahnya diperkirakan lebih dari 200 merek--, ponsel lokal juga harus bersaing dengan ponsel branded murah, baik produk Asia maupun Eropa.
Samsung dan LG, misalnya. Dua vendor Korea Selatan ini belakangan gencar merilis ponsel Qwerty dengan harga sekitar Rp 1 jutaan. Respon terhadap ponsel merek lokal yang tinggi--yang berujung pada peningkatan pangsa pasar ponsel merek lokal--, rupanya mengusik LG dan Samsung. Bahkan Samsung untuk meningkatkan penetrasi pasar--menyusul sukses Corby--, Samsung merilis ponsel dual simcard berdesain Qwerty. Samsung Chat--dengan sebutan ponsel ini, dilepas dengan harga Rp 999.
Ponsel dual simcard dengan harga dibawah satu juta, telah menyedot perhatian publik Indonesia dalam dua tahun terakhir ini. Pangsa pasar ponsel Cina yang sebelumnya sekitar 5 persen, meroket menjadi 10 persen pada tahun 2009 dan diperkirakan naik lagi menjadi 12-15 persen pada tahun 2010. Penyumbang peningkatan pangsa pasar, apalagi kalau bukan ponsel Qwerty dual simcard.
Pasar Qwerty murah makin bergairah menyusul masuknya Nokia C3. Dipasarkan pertengahan tahun 2010, dalam waktu kurang dari enam bulan, C3 mencatat angka penjualan 1 juta unit. Pada penjualan perdana, Nokia memberikan diskon hingga Rp 300 ribu,atau sekitar 25 persen dari harga resminya Rp 1,2 juta.
Nokia Indonesia membukukan sukses. Tak berhenti pada C3, Nokia Indonesia melepas X2-01 pada 26 Desember 2010 di sepuluh kota. Seperti C3, pada penjualan perdana x2-01, Nokia Indonesia memberikan diskon sekitar 20 persen menjadi Rp 699 ribu dari harga perdana Rp 899 ribu. Sama seperti C3, X2-01 laris manis. Dalam waktu kurang dari empat jam, seluruh stok digerai penjualan ludes.
Andrea Facchini, Head of Marketing Nokia Indonesia mengaku gembira dengan antusiasme konsumen dalam menyambut penjualan perdana Nokia X2-01 yang telah berlangsung tanggal 26 Desember yang lalu di 10 kota. '' Sambutan hangat dari masyarakat Indonesia ini merupakan bukti nyata komitmen Nokia untuk terus menghubungkan pengguna melalui beragam solusi terbaik yang kami tawarkan.” kata Andrea Facchini, Head of Marketing Nokia Indonesia.
Belum diketahui berapa unit ponsel yang disediakan Nokia Indonesia pada penjualan perdana. Berbagai rumor menyebutkan bahwa untuk masing-masing kota, alokasi ponsel yang dijual sangat bervariasi. Diperkirakan penjualan perdana X2-01 berhasil melepas sekitar 15 ribu hingga 25 ribu unit X3-01.
Kehadiran X2-01, tak urung menjadikan pasar ponsel Qwerty kategori low high end makin memanas. Praktis X2-01 akan berbenturan dengan ponsel merek lokal yang belakangan 'didesain' sebagai ponsel musik. Untuk memperkuat brand mereka, ponsel merek lokal menggaet para pemusik papan atas sebagai brand ambasador. Jangan kaget jika ada ponsel ST-12, Ponsel Slank, Ponsel Ungu atau Ponsel Nidji. Musik, rupanya, menjadi selling point baru untuk ponsel mereka lokal.
Diluar musik, Qwerty non musik ditingkatkan selling pointnya dengan menambah simcard. Berbagai ponsel merek lokal menawarkan ponsel dengan dual simcard GSM dan satu RUIM CDMA. Ponsel dengan tiga kartu perdana, tampaknya menjadi sebuah selling point baru. Ponsel merek lokal yang menawarkan tiga simcard, antara lain, ditawarkan oleh Nexian, Cross, HT, dan CSL.
Kehadiran Qwerty musik atau Qwerty dengan tiga simcard, rupanya menjadi strategi ponsel merek lokal menghadapi kompetisi yang semakin sengit. Banjir pasokan yang tidak seimbang dengan demand telah memaksa ponsel merek lokal menurunkan harga jual. Semakin agresifnya ponsel branded seperti Nokia, Samsung atau LG menggelontor pasar dengan ponsel Qwerty murah, menjadikan ponsel merek lokal makin tersudut. Mau tak mau, mereka menurunkan harga untuk bisa bertahan pada kompetisi yang semakin keras.
Persaingan yang semakin tajam, memang berdampak pada harga jual ponsel merek lokal. Bila di awal kelahirannya ponsel Qwerty full fitur laku dilepas dengan harga sekitar Rp 1 jutaan, belakangan harganya turun menjadi Rp 700-an ribu. Pertengahan tahun 2010 harga ponsel merek lokal dengan fitur lengkap masih berkisar antara Rp 600 ribu hingga Rp 800 ribu.
Rupanya, kehadiran ponsel Qwerty branded dengan harga Rp 1 jutaan kembali memukul ponsel merek lokal. Produk dengan fitur yang setara, belakangan dilepas dengan harga antara Rp 400 ribu hingga Rp 600 ribu. Kehadiran X2-01, boleh jadi akan diikuti Samsung dan LG--juga ponsel branded yang lain--, ini tentu saja akan menjadi pukulan baru bagi ponsel merek lokal. Tidak tertutup kemungkinan mereka akan menurunkan harga lagi.
Tren penurunan harga ponsel merek lokal, bukan sesuatu yang aneh lagi. Banyaknya pasokan ponsel ini, tak urung, memaksa pemegang merek ponsel lokal menyesuaikan diri. Mereka juga harus kreatif mensikapi pasar. Cross, misalnya, menawarkan modem terintegrasi untuk meningkatkan selling point, disamping mengusung standar Eropa.
Pendekatan ini diklaim,Direktur Marketing PT Aries Indo Global, Teddy Tjan. Ia kemudian menunjuk pangsa pasar di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang berkisar antara 30-35 persen. Sementara untuk tingkat nasional. diklaim sekitar 20-an persen. Sukses dengan Cross CB 38 AT yang dijual dengan harga Rp 400 ribu-an, Cross membidik angka penjualan 400 ribu unit per bulan--untuk semua tipe--pada semester pertama tahun 2011 dan 1 juta unit per bulan pada semester kedua tahun 2011.
Mampukah Cross yang notabene pendatang baru mampu memenuhi ambisinya? Inilah pekerjaan rumah Cross, juga pemegang merek ponsel lokal yang lain. Pasalnya, tahun 2011 persaingan akan semakin keras dan tajam. Apalagi ponsel branded akan semakin 'gila' menggarap pasar mass market seperti segmen low high end, setelah sukses dengan produk Qwerty Rp 1 jutaan.
Melihat optimisme Cross, tampaknya masih banyak selling point yang akan digelontorkan ponsel merek lokal. Termasuk diantaranya menghadirkan ponsel dengan sistem operasi Android dengan harga dibawah Rp 1 juta, untuk menghadapi kompetisi yang semakin panas. Masalahnya sekarang, dengan harga jual Rp 400 ribu apakah ponsel merek lokal masih akan mendapatkan margin yang memadai. Apalagi untuk menghadapi kompetisi, mereka harus menyiapkan biaya promosi yang besar.
Ujung persoalannya, barangkali, adalah unit yang terjual. Kabarnya, dengan angka penjualan 50 ribu hingga 100 ribu untuk satu tipe, ponsel merek lokal masih bisa menikmati margin yang lumayan. Persentase margin, masih lebih besar ketimbang merek branded. Lantas, diantara 200-an ponsel merek lokal tadi, siapa yang mampu menjual setiap tipe ponsel antara 50 ribu hingga 100 ribu?
Karena pangsa pasar yang semakin sempit, sementara jumlah pengguna ponsel baru juga mengalami penurunan karena terjadi kejenuhan pada pasar telekomunikasi. Dapat dipastikan bahwa merek lokal yang mampu mencapai target 50 ribu hingga 100 ribu untuk setiap tipe, jumlahnya tak sampai 5 persen dari total merek lokal yang ada. Bahkan merek lokal yang belakangan ini 'menguasai' pasar, boleh jadi akan berkurang pangsa pasarnya, karena ponsel branded tengah merebut kembali pangsa pasarnya.
Perlu satu terobosan baru bagi ponsel merek lokal agar mampu bertahan menghadapi kompetisi yang semakin panas. Beralih ke Android, barangkali sebuah langkah strategis. Mumpung ponsel Android masih mahal, Android merek lokal dengan harga dibawah Rp 1 juta tentu saja lebih menarik, ketimbang menjual Qwerty dengan harga murah.