Selasa 04 Jan 2011 03:35 WIB

Otak Manusia Moderen Kian Menyusut, Kita Makin Bodoh?

Rep: Agung Sasongko/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Skema Otak Manusia
Skema Otak Manusia

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON--Volume otak boleh besar tapi soal kinerja belum tentu efisien. Begitulah kira-kira kesimpulan sementara terkait perbandingan kecerdasan antara manusia purba dengan modern.

Sebelumnya kalangan ilmuwan terjebak silang pendapat mengenai efek penurunan volume otak yang dialami manusia modern ketika berevolusi dari manusia purba. Silang pendapat itu berawal ketika ditemukan fakta yang menyebutkan selama 20.000 tahun terakhir, rata-rata otak laki-laki manusia mengalami penurunan volume dari semula 1.500 sentimeter kubik menjadi 1.350 sentimeter kubik. Penurunan itu setara dengan satu bola tenis.

Kathleen McAuliffe dalam tulisannya di majalah Discover mengatakan kondisi serupa juga dialami kaum hawa dengan proporsi penurunan yang sama. Tulisan McAuliffe merujuk pada pendapat seorang Antropolog asal University of Wiconsin, John Hawks yang menyatakan penurunan volume otak tidak dibarengi dengan penurunan kecerdasan.

Pendapat itu juga senada dengan Palaentolog lain yang meyimpulkan kapasitas otak yang menurun menyebabkan kinerjanya kian efisien. Meski demikian, ada pula Palaentolog yang mengatakan manusia terus menjadi lebih bodoh karena telah mengalami masa evolusi yang panjang.

Silang pendapat ini diwarnai sejumlah teori yang berupaya menjelaskan penyusutan volume otak. Salah satu teori menyebutkan volume otak yang besar diperlukan manusia purba untuk bertahan hidup dalam lingkungan yang dingin dan banyak melakukan aktivitas di luar ruang. Teori lain bahkan menyebutkan tengkorak kepala yang besar memang didesain untuk menghadapi sumber makanan  berupa kelinci, rusa, rubah dan kuda. 

"Kepala tengkorak yang besar memudahkan manusia purba untuk makan," komentar ilmuwan pendukung teori ini seperti dikutip Dailymail, Senin (3/1). Sementara ahli lainnya mengatakan tingginya angka kematian ketika melahirkan disebabkan ukuran tengkorak yang terlalu besar. Oleh karena itu, angka kematian bayi segera menyusut seiring dengan penurunan proporsional dalam ukuran otak manusia modern.

Sebuah studi terbaru yang digagas ilmuwan kognitif dari University of Missouri, David Geary dan Drew Bailey, menelisik bagaimana ukuran tengkorak berubah sebagai konsekuensi adaptasi cikal bakal manusia modern dengan lingkungan sosialnya yang semakin kompleks antara 1.9million dan 10.000 lalu.

Sstudi tersebut menyebabkan, kepadatan populasi yang rendah mengakibatkan peningkatan ukuran tengkorak. Namun, ketika populasi yang semula jarang berubah menjadi padat, ukuran tengkorak pun menurun.

Keduanya sepakat sebagai manusia modern, otak tumbuh lebih kecil karena orang tidak harus menjadi cerdas untuk tetap hidup. Namun, Geary memperingatkan terhadap stereotip nenek moyang sebagai manusia yang lebih cerdas daripada manusia modern.  "Secara praktis, nenek moyang kita tidak secerdas atau sekreatif masyarakat modern karena mereka tidak memiliki dukungan budaya," paparnya.

Geary menjelaskan perbaikan pola kehidupan dan munculnya spesifikasi ekonomi telah memungkinkan manusia-manusia  cerdas untuk memfokuskan upaya mereka pada ilmu-ilmu, seni dan bidang lainnya. "Nenek moyang tidak memiliki infrastruktur yang kuat untuk mendukung mereka. Karena itu, mereka hanya berupaya keras dalam menjalani siklus kehidupannya," ujar Geary.

Di sisi lain, Hawks percaya penurunan ukuran otak manusia modern menunjukan peningkatan kecerdasan. Otak, paparnya, menggunakan 20 persen dari semua bahan bakar yang dikonsumsi. Oleh karena itu, otak yang lebih besar akan membutuhkan lebih banyak energi dan memakan waktu lebih lama untuk berkembang. Hawks mencatat bahwa ledakan populasi manusia antara 20.000 dan 10.000 tahun lalu menyebabkan mutasi--tak biasa namun menguntungkan--terjadi. Dia percaya hal itulah yang menyebabkan otak menjadi lebih ramping.

Secara terpisah, antropolog Richard Jantz dari University of Tennessee justru menemukan ukuran otak manusia modern semakin membesar.  Fakta itu terungkap setelah dia mengukur  dan membandingkan kranium warga Amerika keturunan Afrika dan Eropa dari zaman kolonial akhir abad ke-20. "Nyatanya otak kita berkembang lagi," tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement