Sabtu 01 Jan 2011 07:18 WIB

Tarif Murah (Bohongan) No Way

Telepon Pedesaan: Pedesaan di Indonesia membutuhkan dukungan telefoni dasar, bukan broadband
Foto: taufik rachman
Telepon Pedesaan: Pedesaan di Indonesia membutuhkan dukungan telefoni dasar, bukan broadband

REPUBLIKA.CO.ID Makin sulit saja mengiming-imingi pelanggan layanan telekomunikasi di Indonesia dengan 'tarif super' murah. Perhatikan saja kinerja operator yang gencar menawarkan promo gratisan atau tarif super murah-- yang seringkali tidak sesuai dengan fakta.

Adakah terjadi kenaikan signifikan jumlah pelanggan mereka? Ternyata tidak. Dalam banyak kasus, yang terjadi justru sebaliknya. Pelanggan berpindah ke operator lain, karena dengan tarif yang diklaim murah tadi, mereka justru mendapatkan pelayanan yang buruk.

Perlu kiranya disadari bahwa jor-joran promosi tarif murah yang berlangsung sejak tahun 2007, justru melahirkan yang pelanggan semakin cerdas dan cermat dalam merespon promosi dan menentukan pilihan. Bagaimanapun, pelanggan tak ingin terjebak dua kali. Oleh karena itulah, mereka benar-benar mencermati promosi operator.

Bukan rahasia umum lagi, bahwa dibalik promo tarif super murah itu, mereka sering berhadapan  dengan 'jebakan Batman.' Alih-alih mendapatkan tarif murah. Yang terjadi justru sebaliknya, pelanggan harus merogoh kocek lebih dalam lagi.

Simulasi yang dilakukan anggota BRTI, Heru Sutadi, misalnya, menemukan tarif yang jauh lebih mahal dibandingkan tarif yang diberlakukan sebelumnya. Bakrie yang menawarkan tarif serba Rp 1, ternyata mengutip biaya Rp 230 per empat menit, Rp 350 (enam menit), dan Rp 3.590 (satu jam). Jika dibandingkan dengan tarif Esia sebelumnya, justru terjadi kenaikan sebesar 15 persen untuk pembicaraan empat menit, 17 persen (enam menit), dan 20 persen (satu jam).

Sejauh ini, tarif murah memang telah menjadi semacam selling point utama operator dalam menggaet pelanggan baru, sekaligus menjaga pelanggan tidak beralih ke operator lain. Industri yang tengah memasuki masa saturasi, tak urung menyebabkan kompetisi semakin keras. Segmen yang dibidik juga semakin ke bawah. Pada situasi seperti ini, tarif menjadi persoalan yang 'peka'.

Pada sisi lain, kalangan operator sebenarnya sadar bahwa pelanggan telekomunikasi di Indonesia semakin cerdas mensikapi situasi. Seorang pelanggan memiliki kartu perdana multioperator adalah hal yang biasa. Kartu mana yang akan digunakan, tentu saja amat bergantung pada penilaian pelanggan, mana yang lebih murah untuk komunikasi.

Lantas, mengapa hampir semua operator ikut terlibat dalam perang tarif murah. Paling tidak ada dua orientasi utama yang melatarbelakanginya. Pertama adalah membangun customer based.Ini dilakukan oleh pendatang baru atau operator dengan pelanggan dibawah 20 juta. Melalui promo tarif murah mereka berharap bisa mendorong pertumbuhan pelanggan secara signifikan, sekaligus menekan biaya operasi untuk setiap pelanggan. Dengan biaya operasi yang semakin rendah, diharapkan margin bisa semakin besar.

Kedua menjaga pertumbuhan. Ini dilakukan opertor yang memiliki pelanggan diatas 20 juta. Dengan tarif murah operator membentengi pelanggan agar tidak mudah goyah, pada saat yang sama operator berusaha menggaet pelanggan yang telah bergabung dengan operator lain, sekaligus menggaet pelanggan yang sama sekali baru.

Sebenarnya, tanpa harus terjebak pada perang tarif murah, operator besar dengan modal kapasitas yang besar, coverage yang luas serta value added yang dimiliki, memiliki peluang tumbuh yang tinggi. Mengingat pelanggan telekomunikasi di Indonesia tengah memasuki fase transisi dari telefoni dasar ke layanan berbasis data. Operator besar memiliki layanan VAS dan data yang beragam dengan tarif yang semakin kompetitif yang tidak dimiliki operator kecil.

Sementara operator yang baru tumbuh, memiliki peluang menambah pelanggan baru di daerah yang baru dikembangkan. Masih banyak wilayah Indonesia yang bisa dikembangkan dan memiliki potensi pelanggan baru yang tinggi. Namun banyak operator yang enggan memperluas coverage. Mereka lebih memilih pasar yang sudah jadi dan mencoba mengusiknya dengan tarif super murah.

Bila kemudian operator besar ikut bermain, hal ini tak lepas dari keinginan menjaga pelanggan agar tidak berpindah ke operator lain. Pada saat bersamaan, promo tarif murah diharapkan mampu mengusik perhatian pelanggan yang ada di operator lain. Swing atau swicther customer --pelanggan yang mudah berganti operator--, belakangan memang banyak diincar operator besar.

Direktur Marketing XL, Nicanor V Santiago membenarkan bahwa switcher menjadi salah satu target program promo terbaru XL, disamping pelanggan yang sama sekali baru. '' Melalui program Rp 0,- kami ingin meningkatkan pelanggan baru, baik yang sama sekali baru maupun switcher. Proporsinya Fifty fifty,'' kata Nicanor.

Tak hanya XL yang membidik swicther. Telkomsel diam-diam menikmati kehadiran para switcher itu. '' Kami sering dianggap memberlakukan tarif premium, padahal kalau dicermati tarif kami sebenarnya yang paling murah,'' kata VP Area Jabotabek Jabar, Venusiana Papasi. Edukasi yang tepat serta makin meluasnya komunitas yang dikembangkan Telkomsel, kata Venus berhasil mengedukasi pelanggan baru, termasuk para Switcher tadi.

Sepanjang tahun 2010, baik XL maupun Telkomsel tercatat sebagai operator yang memiliki kinerja bagus serta mampu meningkatkan junmlah pelanggan yang signifikan. Yang menarik, keduanya sama-sama membukukan peningkatan revenue dari sektor data dan value added services.

Memperhatikan kinerja XL dan Telkomsel, boleh jadi kita memperoleh suatu gambaran bahwa tarif super murah untuk voice dan SMS tak bisa lagi dijadikan andalan utama dalam menarik simpati pelanggan, apalagi mendongkrak revenue. Tidak tertutup kemungkinan bahwa tarif murah justru akan menjebak operator itu sendiri, apalagi jika sumber utama revenue berasal dari layanan telefoni dasar, yakni telepon dan SMS.

Nicanor mengingatkan bahwa revenue voice dan SMS cenderung stagnan, bahkan mengalami penurunan. Hal ini terjadi akibat terus merosotnya tarif telepon dan SMS dari waktu ke waktu. Untuk menjaga revenue yang harus dilakukan operator adalah meningkatkan frekuensi pengiriman SMS dan lama menelepon.

Pada saat yang sama operator harus meningkatkan pendapatan di luar voice dan SMS, seperti VAS dan data dan mendorong peningkatan kontribusi sektor ini untuk pendapatan secara keseluruhan. Kontribusi VAS dan data yang sebelumnya berkisar antara 8-10 persen, akan didorong menjadi 15 persen. Langkah yang sama, juga dilakukan Telkomsel yang menargetkan kontribusi sektor VAS dan Data menjadi sekitar 13 persen.

Memperhatikan strategi XL atau Telkomsel, wajar jika keduanya seperti tak memiliki beban ketika pasar semakin gencar menabuh genderang perang tarif murah untuk layanan voice dan SMS. Sekalipun ikut berperang, namun keduanya memiliki orientasi dan target yang berbeda.

Tarif murah, tak urung, menjadi trigger agar pelanggan mau menikmati atau menggunakan layanan VAS dan data yang ada. Aneka promo murah dan gratisan yang ditawarkan, lebih berlatarbelakang edukasi kepada pelanggan serta memberikan kesempatan mereka mencoba layanan VAS dan data.

Layanan berbasis data, memang tengah menjadi tren. Fenomena ini tercermin dari peningkatan trafik data belakangan ini. Pada hari besar seperti Idul Fitri, Natal, juga tahun baru, trafik layanan data diperkitakan lebih tinggi dibandingkan layanan voice atau SMS. Fenomena ini menggambarkan bahwa pola komunikasi pelanggan Telekomunikasi mulai bergeser. Bila sebelumnya komunikasi lebih banyak dilakukan melalui voice, belakangan bergeser ke SMS.

Tatkala chatting, messenger atau push mail mulai populer, penyampaikan pesan singkat melalui SMS mulai ditinggalkan. Jangan kaget jika pertumbuhan pelanggan Blackberry di Indonesia meningkat hingga 400 persen, demikian pula pengguna layanan jejaring sosial seperti facebook dan twitter mengalami peningkatan secara dramatis. Layanan inilah yang mulai menggerus peran SMS sebagai media komunikasi.

Betapa tidak. Dari sekitar 2 juta pengguna Blackberry di Indonesia, dalam sehari berapa kali mereka mengirim messenger? Bila rata-rata, taruhlah 20 messenger, ini berarti ada 40 juta pesan yang sebelumnya dikirim lewat SMS, tak lagi dikirim. Lalu dari sekitar 26 juta pengguna facebook, berapa juta pesan yang mereka kirimkan dalam satu hari?

Tren mengirim pesan dengan messenger atau melalui jejaring sosial, akan semakin meningkat. Tak urung, fenomena ini akan menggerus jumlah pesan SMS yang dikirimkan. Bila SMS berkurang, praktis trafik voice juga akan mengalami penurunan. Bagaimana mengikuti dan menyiasati irama yang tengah berkembang di kalangan pengguna layanan telekomunikasi, merupakan sebuah langkah cerdas. Ini lebih baik--dan menguntungkan--, ketimbang jor-joran menawarkan tarif murah untuk voice dan SMS yang belum tentu meningkatkan pelanggan dan revenue secara signifikan.

Industri telah bergeser. Saatnya operator memandang ke depan, bulan set back ke belakang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement