Jumat 31 Dec 2010 06:52 WIB

4G: Gengsi Operator atau Refleksi Kebutuhan Pelanggan?

Ujicoba LTE XL
Foto: XL Axiata
Ujicoba LTE XL

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-- Pelanggan NTT Docomo, Jepang, mulai pekan ini bisa menikmati layanan long term evolution (LTE). Dengan teknologi ini, mereka bisa mengakses  internet dengan kecepatan downlink hingga 37,5 Mbps dan uplink 12,5 Mbps.

Ditempat terbuka, kecepatan transfer bahkan bisa mencapai 75 Mbps. Kecepatan akses layanan baru diperkirakan 10 kali lipat dari layanan sekarang yang menggunakan teknologi High Speed Packet Acces (HSPA). Sekalipun kecepatan lebih baik, tarif yang diberlakukan yak berbeda jauh dengan tarif layanan non LTE.

Untuk bisa menikmati layanan ini, pelanggan pascabayar NTT Docomo membayar tarif bulanan antara 1.000 yen ( sekitar Rp 107.000 hingga 6.150 yen ( sekitar Rp 658 ribu, dengan masa kontrak dua tahun.

Pada sistem kontrak ini, NTT menerapkan kuota hingga 5 GB per bulan. Untuk kelebihan pemakaian akan dikenakan biaya tambahan. Untuk setiap tambahan 2 GB, dikenakan biaya 2.625 Yen atau sekitar Rp 280 ribu.

Layanan terbaru dengan brand Xi ini baru bisa dinikmati pelanggan di Tokyo, Kyoto dan Nagoya. NTT Docomo berencana memperluas layanan hingga mencapai 70 persen populasi pada tahun 2015 mendatang. Setelah Jepang, diperkirakan banyak operator terkemuka di dunia akan mengimplementasikan teknologi serupa untuk meningkatkan kualitas layanan kepada pelanggan.

Untuk layanan LTE--suatu teknologi yang masuk rumpun 4G atau seluler generasi ke empat, NTT Docomo masih membatasi layanan pada akses internet mobile, dengan menawarkan dua unit modem USB 4G.  Layanan akan diperluas setelah ada ponsel 4G di pasaran. Sejumlah vendor saat ini tengah mengembangkan ponsel 4G. Asus, misalnya. Pabrikan ponsel asal Taiwan ini dalam waktu dekat akan merilis produknya.

LTE belakangan menjadi pilihan operator seluler untuk masuk ke era 4G. Bagi operator seluler, LTE lebih efektif dan efisien ketimbang teknologi serumpun seperti Wimax. Dengan mengimplementasikan LTE, operator seluler tinggal melakukan up grade jaringan yang dimiliki, termasuk sistem pendukungnya. Bila Wimax yang menjadi pilihan, operator harus melakukan deployment baru.

Tak mengherankan bila operator seluler di Indonesia juga lebih melirik LTE ketimbang Wimax untuk pengembangan layanan 4G. Dua operator, Telkomsel dan XL, bahkan telah melakukan ujicoba layanan  LTE. Telkomsel melakukan ujicoba 21 Juni 2010. Ujicoba, antara lain berupa video conference di tiga kota, Jakarta, Medan dan Denpasar, serta menikmati tayangan video tiga dimensi.

 

Sementara XL melakukan ujicoba 24 Desember 2010 lalu. Pada ujicoba, XL antara lain menggandeng SCTV untuk layanan siaran langsung ( live report). Pada ujicoba ini crew SCTV menggunakan perangkat berteknologi LTE yang sangat kompak. Hasilnya, live report versi LTE tak kalah dengan versi teknologi existing yang digunakan kalangan televisi saat ini. Ujicoba juga dilakukan untuk video conference ( video konferensi) antara gedung XL di kawasan Kuningan dengan kantor Ericsson Indonesia di kawasan Pondok Indah, serta pertunjukan musik live streaming yang bisa diakses melalui internet.  

Dari ujicoba ini, terungkap bahwa teknologi LTE yang diujicoba mampu mentransfer data berkapasitas besar secara simultan dengan kecepatan sangat tinggi. Pengunduhan data 360 MB, misalnya, hanya membutuhkan waktu sekitar 66 detik. Hal yang sama ditemukan pada ujicoba LTE Telkomsel. Singkatnya, diatas kertas LTE mampu mentransfer data dengan kecepatan sangat tinggi. Secara teknis, LTE memiliki kecepatan hingga 100 Mbps atau sepuluh kali lipat dari teknologi generasi sebelumnya, HSPA.

Sukses melakukan ujicoba, baik Telkomsel maupun XL melakukan serangkaian kegiatan, antara lain mengembangkan ekosistem bagi LTE yang melibatkan seluruh stake holder. Baik kalangan praktisi, akademisi di kampus, regulator, vendor, industri kreatif dan publik yang akan menggunakan LTE. Konsep yang diterapkan pada 3G --dalam membangun ekosistem--, rupanya menjadi rujukan operator saat akan mengimplementasikan 4G.

Pertanyaanya kemudian, kapan implementasi komersial 4G di Indonesia terealisasi. Banyak kalangan menyebut bahwa implementasi 4G paling cepat direalisasikan tahun 2012. Penegasan yang sama disampaikan kalangan pemerintah, termasuk Menkominfo Tifatul Sembiring. Kalangan pemerintah meminta waktu sekitar dua tahun untuk melakukan penataan frekuensi, menetapkan frekuensi dan tender frekuensi.

Mengenai frekuensi mana yang akan digunakan untuk mendukung 4G sendiri masih belum ada kesepakatan. Di satu pihak, layanan 4G membutuhkan kanal di frekuensi 2.3 Ghz. Di pihak lain, layanan 4G bisa dioperasikan dengan memanfaatkan frekuensi 700 Mhz. Frekuensi 700 Mhz praktis kosong, karena (resminya) belum digunakan. Pandangan lain menyebutkan bahwa operator bisa memanfaatkan frekuensi eksisting dengan melakukan refarming. Mana yang akan dipilih? Masih belum ada keputusan.

Kebutuhan pelanggan

Terlepas dari frekuensi mana yang akan digunakan operator untuk mendukung layanan 4G, timbul pertanyaan apakah pelanggan seluler di Indonesia sudah membutuhkan 4G, sementara layanan berplatform 3G--bahkan telah lahir evolusinya seperti HSDPA (3,5 G) atau HSPA dan HSPA+ ( 3,75 G), belum dimanfaatkan secara optimal. Bila teknologi lama saja belum dimanfaatkan optimal, mengapa operator harus mengimplementasikan teknologi generasi baru.

Dalam perspektif end user atau konsumen langsung layanan telekomunikasi, mereka sebenarnya tidak mempersoalkan teknologi apa yang akan dikembangkan operator. Dalam pandangan awam, mereka hanya membutuhkan suatu layanan yang memungkinkan mereka bisa mengakses internet, membuka dan mengirim imel, mengakses jejaring sosial dengan nyaman, menikmati layanan video streaming--seperti disediakan You Tube, atau paling tinggi bermain game online atau game interaktif. Bagi pelanggan korporat, mereka membutuhkan dukungan akses yang cepat dan stabil untuk mendukung kinerja dan aktivitas keseharian mereka.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, layanan berplatform 3G sebenarnya cukup memadai. Dengan kecepatan transfer 600 hingga 700 kpbs saja, aneka kebutuhan mayoritas pelanggan seluler itu sudah bisa dipenuhi. Namun praktiknya, tak mudah mendapatkan layanan dengan kecepatan akses 600-700 Kpbs yang stabil. Yang terjadi, pelanggan tidak menikmati layanan yang diklaim sebagai broadband, karena lebih banyak mendapatkan layanan dengan akses puluhan Kbps. Itupun fluktuatif dan sering putus.

Belum optimalnya layanan berplatform 3G--utamanya yang berhubungan dengan internet mobile--, memang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor teknis. Misalnya ketidakseimbangan antara supply and demand. Di sisi lain, keterbatasan frekuensi dituding menjadi faktor utama yang menyebabkan operator tidak mampu memberikan pelayanan optimal.

Soal frekuensi memang menjadi salah satu isu utama. Apa yang bisa dilakukan operator yang hanya memiliki alokasi frekuensi 5 Mhz, sementara secara teknis 3G membutuhkan frekuensi antara 10-20 Mhz. Tak mudah bagi operator mendapatkan tambahan pita frekuensi. Untuk mendapatkan tambahan 5 MB saja, rupanya butuh waktu dan biaya yang besar. Sekadar mengingatkan, tambahan frekuensi yang diperoleh Telkomsel, Indosat dan XL, belum lama ini. Untuk frekuensi masing-masing 5 MB, operator harus membayar biaya hak penggunaaan frekuensi (BHP) Rp 160 miliar. Inipun diperoleh setlah empat tahun mendeployment 3G.

Wajar jika banyak kalangan menuding 3G gagal di Indonesia. Alasannya, 3G belum mampu 'menggairahkan' layanan berbasis video. 3G belum mampu meningkatkan secara signifikan pasokan konten berbasis video atau meningkatkan jumlah pengakses konten berbasis video. Layanan berbasis video juga belum banyak digunakan oleh pelanggan ritel maupun korporat.

Lantas ketika ditanya, mengapa hal itu terjadi? Tak mudah menjawabnya. Dari sisi teknis, belakangan terungkap bahwa 3G memang belum mampu sepenuhnya menopang layanan berbasis video. Video call, misalnya, membutuhkan dukungan akses yang lebih tinggi lagi. Fenomena ini, antara lain tercermin dari aplikasi FaceTime iPhone yang ada di ponsel iPhone 4G.

Disisi lain, respon terhadap kehadiran 3G tidaklah seketika. Ada suatu proses yang harus dilalui. Gadget dan gaya hidup, rupanya amat menentukan perlu tidaknya suatu teknologi baru. Booming akses internet berkecepatan tinggi belakangan ini, menggambarkan fenomena itu. Sejauh ini, operator--dengan 3G-- telah memiliki kapasitas memadai untuk memenuhi kebutuhan itu. Pada saat yang sama, operator melakukan evolusi teknologi ke 4G, untuk mengantisipasi kebutuhan yang meningkat.

Perhitungan waktu yang tidak tepat, rupanya menjadi pokok persoalan. Oleh karena itu, sekalipun dinilai gagal, kalangan operator belakangan  justru 'menikmati' kenaikan revenue karena mengimplementasikan layanan berplatform 3G. Faktanya 3G justru memberikan keleluasaan operator dalam meningkatkan kapasitas jaringan, mengembangkan data plan dengan tarif terjangkau, serta menghandle peningkatan kebutuhan data di kalangan pelanggan yang signifikan.

Tiga atau empat tahun lalu, kita mungkin tidak membayangkan bahwa jumlah pengguna Blackberry akan melesat sedemikian rupa, Indonesia masuk dalam empat besar dunia pengguna jejaring sosial, dan pertumbuhan pengguna internet di Indonesia masuk kelompok enam besar di Asia, bahkan dunia.

Di sisi lain, perkembangan mal virtual seolah juga luput dari perhatian kita. Boleh jadi, kita tidak membayangkan bahwa vendor ponsel seperti Nokia, Blackberry dan Samsung serius menggarap mal virtual mereka, sebagaimana Apps Store yang dikembangkan Apple. Kita tak menduga bahwa Google dengan Androidnya bakal memikat perhatian dunia dan Android Market yang dikembangkan menjadi mal virtual paling populer dalam waktu singkat.

Mal virtual, tak urung meningkatkan kebutuhan akan akses internet, utamanya kebutuhan untuk mengunduh berbagai konten, aplikasi, musik dan video, baik yang berbayar maupun tidak berbayar Perkembangan teknologi baru, seperti komputer tablet, pada gilirannya menjadikan kebutuhan akan akses internet semakin besar.

Tablet akan menjadi gaya hidup baru di masa depan. Keberadaan gadget ini, tentu saja membutuhkan dukungan akses internet yang memadai. Dari sisi korporat makin populernya Clod Computing, tidak bisa diabaikan begitu saja kalangan operator. Cloud computing juga membutuhkan dukungan akses internet yang cepat.

Sampai disini, investasi besar untuk layanan 3G, ternyata tidak sia-sia. Ketika kebutuhan meningkat, operator diatas kertas mampu memenuhi kebutuhan itu dengan menyediakan kapasitas yang memadai, sekalipun dengan kecepatan yang ala kadarnya akibat adanya ketidakseimbangan supply and demand. Operator menikmati perkembangan seperti ini. Buktinya pendapatan dari sisi layanan data terus meningkat dan sektor ini belakangan menjadi new bussines yang diharapkan bisa menutup penurunan revenue di sektor telefoni dasar. Telkomsel, misalnya, tahun 2011 akan mengalokasikan 60 persen belanja infrastruktur untuk memperkuat 3G dan broadband. Langkah yang sama ditempuh XL. Baik XL maupun Telkomsel mematok target kenaikan revenue data hingga 100 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Value Added Servives (VAS) dan Data menjadi sumber pendapatan baru yang potensial bagi kalangan operator seluler. Wajar jika mereka fokus dan serius menggarap sektor ini. VAS dan Data diharapkan menjadi 'katup penyelamat' pada saat pendapatan layanan telefoni dasar --voice dan SMS-- terus tergerus oleh struktur tarif yang semakin murah.

Belajar dari 3G, ada kecenderungan operator mengimplementasikan LTE untuk mendukung pengembangan layanan VAS dan data. Bila kemudian operator di Indonesia lebih fokus pada mobile internet, sebagaimana dirintis NTT Docomo saat ini, hal ini semata-mata karena pertimbangan pasar. Pasar mobile internet sangat besar dan mereka membutuhkan dukungan jaringan berkecepatan tinggi, stabil dan murah dari sisi tarif. Dalam perspektif ini, LTE menjadi solusi.

Tarif yang diberlakukan di Jepang, dalam batas-batas tertentu tak jauh dengan tarif yang berlaku di Indonesia saat ini. Untuk paket unlimited dengan kecepatan hingga 386 Kpbs, misalnya, biaya langgan per bulan sekitar Rp 100 ribu. Sementara untuk kecepatan 512 Mbps, misalnya, pelanggan membayar sekitar Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu per bulan, dengan kuota sekitar 1,5 GB hingga 2 GB. Setelah kuota terpenuhi, pelanggan tak perlu membayar lagi. Mereka tetap bisa menikmati layanan, hanya saja kecepatan mengalami penurunan.

Model data plan yang dikembangkan operator, ternyata banyak dinikmati pengguna mobile internet. Layanan ini sebagian besar digunakan pelanggan untuk menikmati mobile internet di netbook, notebook, tablet atau ponsel. Hanya sebagian kecil yang menggunakan layanan itu untuk mengakses internet di desktop di rumah atau di kantor.

Implementasi 4G, pada gilirannya, merupakan sebuah antisipasi terhadap meningkatnya kebutuhan akan akses internet dengan kualifikasi broadband. Dalam hal ini, 4G memungkinkan mereka memberikan layanan broadband yang lebih baik dari sisi kualitas, mampu menghandle peningkatan signifikan pengguna layanan VAS dan data, serta bisa menawarkan tarif yang terjangkau dan semakin bervariasi. Lebih dari itu, implementasi 4G memungkinkan operator lebih optimal lagi dalam pengembangan value added services, termasuk pengembangan konten berbasis video.

LTE, secara teknis, mampu menjawab peningkatan kebutuhan pelanggan. Mal-mal virtual yang dikembangkan vendor ponsel seperti Ovi Store, Apple Store, Blackberry Store mulai diminati. Demikian pula dengan mal virtual musik, seperti Ovi Music atau Langit Musik. Ada kecenderungan bahwa terjadi peningkatan dalam jumlah pengunduhan konten, musik, video atau aplikasi di kalangan pengguna layanan seluler.

Tidak tertutup kemungkinan bahwa ring back tones tidak lagi berupa audio seperti sekarang ini. Pada saatnya nanti akan ada video ring back tones. Video ring back tones, tentu saja membutuhkan dukungan jaringan broadband yang memadai. Disisi lain, dengan memperhatikan perkembangan para pengguna jejaring sosial seperti facebook, kebutuhan akan broadband semakin meningkat.

Memang, untuk up dates status saat ini masih didominasi oleh teks. Dalam banyak kasus, pengguna facebook mulai melakukan up dates dengan mengirimkan gambar atau foto, sesekali mereka berbagi video. Memperhatikan perilaku pengguna layanan jejaring sosial, tidak tertutup kemungkinkan bahwa pengguna facebook akan melakukan up dates dengan menampilkan video pendek.

Up dates menggunakan video hanyalah soal waktu. Memperhatikan perkembangan device yang ada dipasaran saat ini, sangat dimungkinkan pelanggan seluler merekam video dengan kualitas high definition. Yang masih menjadi kendala adalah saat ia harus mengupload video. Kapasitas video yang besar membutuhkan dukungan perangkat lain untuk mengkompresi atau melakukan up load.

Bila suatu saat ada aplikasi yang mampu mengkompresi file video dengan durasi dua atau tiga menit menjadi file yang setara dengan file foto, tentu saja akan banyak pengguna jejaring sosial melakukan up date dengan video. Dengan aplikasi ini, seorang pengguna jejaring sosial bisa merekam video kemudian menguploadnya dengan ponsel, semudah ia melakukan up load atau sharing foto ke jejaring sosial.

Tak kalah menariknya adalah konsep cloud computing yang diperkirakan akan booming pada tahun 2011. Layanan ini membutuhkan dukungan akses dengan kualifikasi broadband, agar mampu berjalan dengan baik. Baik dari sisi ritel maupun korporat, kebutuhan akan layanan data bakal mengalami peningkatan secara signifikan. LTE menjadi salah satu solusi.

Ujung persoalan pada gilirannya adalah tarif. Tarif yang masih dianggap mahal untuk akses data, telah menyebabkan keengganan pelanggan seluler mengunduh data secara langsung dari ponselnya.  Model data plan yang dikembangkan kalangan operator saat ini, banyak diminati pelanggan seluler. Dengan membayar tarif flat--baik harian, mingguan atau bulanan--, pelanggan tak lagi berpikir soal biaya yang harus dikeluarkan. Secara psikologis data plan yang dikembangkan menjadi solusi dalam menghadapi 'barrier tarif' yang dihadapi pelanggan saat GPRS atau 3G mulai diimplementasikan.

Tak berhenti pada data plan, saatnya operator mengembangkan sistem pembayaran yang simpel untuk pengunduhan aplikasi, konten, musik atau apapun dari mal virtual, baik global maupun nasional. Pembayaran dengan memotong pulsa prabayar atau membebankan pada tagihan pascabayar, rasanya, lebih praktis ketimbang membayar dengan vocer, transfer, kartu kredit atau mobile wallet. Sistem ini akan menjadikan pelanggan nyaman.

Kenyamanan ini, sebenarnya, yang akan menjadi pintu masuk ke layanan-layanan baru yang dikembangkan operator, menyusul diimplementasikannya teknologi baru seperti 4G. Singkatnya, 4G tidak saja membutuhkan dukungan ekosistem yang kompak. Namun juga sistem dan struktur tarif yang simpel dan terjangkau.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement