Selasa 15 Jun 2010 21:37 WIB

Menambah Pinter Desa Pinter (1)

Teknologi Surya: Infrastruktur telekomunikasi bertenaga surya di desa Balabakan.
Foto: taufik rachman
Teknologi Surya: Infrastruktur telekomunikasi bertenaga surya di desa Balabakan.

REPUBLIKA.CO.ID, Sukses dengan program Desa Berdering atau desa yang memiliki akses telekomunikasi di seluruh desa di Indonesia, pemerintah berencana mengembangkan Desa Pinter di seluruh Indonesia. Desa Pinter adalah desa punya internet. Ia menjadi salah satu program unggulan Kementrian Komunikasi dan Informatika.

Pada tahun 2014 diharapkan sekurang-kurangnya 10 ribu desa di Indonesia telah berstatus sebagai Desa Pinter. Dari sisi jumlah, angka 10 ribu memang baru setara dengan 16-17 persen jumlah seluruh desa di Indonesia, yang diperkirakan mencapai 74 ribu desa.

Guna mewujudkan Desa Pinter, setidaknya telah dikembangkan semacam pilot project. Pada Desa Berdering yang dibiayai dana universal service obligation (USO) dikembangkan paling tidak 100 Desa Pinter. Program ini  tertuang dalam keputusan Menteri Komunikasi No 418/KEP/M.Kominfo/09/2007. Desa Pinter adalah desa yang memiliki akses telepon--termasuk layanan pesan singkat-- serta akses internet. Akses internet disini ditetapkan sebagai berikut, kecepatan transfer data (throughput) minimal sebesar 56 Kbps yang diukur dari CPE ke perangkat Penyelenggara Jaringan Tetap Lokal KPU Telekomunikasi.

Latency maksimal 750 ms yang diukur dari CPE ke Indonesia Internet Exchange (IIX) sebagai referensi pengukuran. Sedangkan Packet Loss maksimal 2 persen yang diukur dari CPE ke Indonesia Internet Exchange (IIX) sebagai referensi pengukuran. Selain akses, harus tersedia pula perangkat pendukung seperti komputer dan printer.

Singkatnya, selain akses terdapat titik layanan seperti warnet dengan minimal satu unit komputer dan satu unit printer. Secara sederhana Desa Pinter adalah desa yang memiliki akses internet pada community acces point (CAP). CAP ini secara konseptual mirip dengan warung internet (warnet). Dengan demikian salah satu ciri Desa Pinter adalah desa yang memiliki warnet yang bisa digunakan secara bersama-sama oleh warga setempat untuk mengakses internet.

Rupanya, Desa Pinter menarik perhatian para kepala daerah. Sejumlah daerah kabarnya berencana mengembangkan Desa Pinter di daerah masing-masing. Jawa Timur, misalnya, berencana mengembangkan 260 Desa Pinter. Di sisi lain, sejumlah lembaga mengembangkan program serupa di desa-desa, seperti yang dilakukan Huawei bersama dengan Intel. Internet pedesaan memang tengah bergulir.

Setelah semua desa terjangkau akses telekomunikasi, pemerintah memang akan menyediakan akses internet secara bertahap. Memanfaatkan Pendapatan Negara Bukan Pajak, Kementrian Kominfo mengembangkan Pusat Layanan Jasa Akses Internet Kecamatan (PLIK) pada 5.748 ibukota kecamatan dengan biaya tahun pertama Rp 703 miliar. Program PLIK sendiri direncanakan berlangsung lima tahun. Berdasarkan Permenkominfo NO 48 Tahun 2009, PLIK memiliki akses internet dengan kecepatan downlink minimal 256 kpbs dan uplink 126 kpbs. Pada PLIK dikembangkan community acces point (CAP)--semacam warung internet--, yang memiliki minimal lima komputer dan satu server. Program USO Internet kecamatan diharapkan tuntas November mendatang.

Apakah setelah program PLIK tuntas, Kementrian Kominfo akan membuka tender Desa Pinter di 10 ribu desa? Belum diperoleh gambaran mengenai hal itu. Namun memperhatikan program Desa Berdering dan PLIK, tidak tertutup kemungkinan akan dilakukan tender Desa Pinter. Apalagi, pemerintah memiliki dana memadai untuk mendukung program ini.

Muncul pertanyaan, apakah deployment infrastruktur pada Desa Pinter bisa secepat deployment Desa Berdering? Sebagaimana disampaikan Menkominfo Tifatul Sembiring, keterbatasan sarana dan prasarana di pedesaan menjadi kendala. Salah satu kendala utama yang bakal dihadapi dalam merealisasikan program Desa Pinter adalah ketersediaan energi listrik.  Desa berbeda dengan ibukota kecamatan. Umumnya ibukota kecamatan telah terjangkau listrik. Apalagi, selain akses internet, Kemenkominfo juga berencana menyediakan televisi. Untuk pengoperasian televisi tentu saja juga dibutuhkan listrik.

Apabila kita memperhatikan tingkat elektrifikasi PLN, persoalan akan semakin melebar. Saat ini tingkat elektrifikasi PLN diperkirakan baru mencapai 56 persen. PLN menargetkan tingkat elektrifikasi 100 persen akan dicapai pada tahun 2020. Dari sisi distribusi atau persebaran, persentase desa yang telah dialiri listrik barangkali lebih rendah dibandingkan dengan tingkat elektrifikasi PLN secara nasional. Boleh jadi dari sekitar 73 ribu desa yang ada di Indonesia saat ini, desa yang telah terjangkau aliran listrik kurang dari 50 persen.

Ada memang pilihan teknologi alternatif untuk memenuhi kebutuhan listrik pada daerah atau wilayah yang belum terjangkau PLN. Misalnya tenaga matahari, tenaga angin, diesel, atau pengembangan mini hydro. Hanya saja, untuk pengembangan energi listrik alternatif membutuhkan investasi yang besar.  Dengan listrik tenaga matahari, untuk mendukung pengoperasian infrastruktur telekomunikasi dan dua hingga empat komputer, diperlukan sedikitnya sembilan hingga 12 panel tenaga matahari, dengan investasi sekitar Rp 100 juta-an.

Perlu kiranya disadari berdasarkan survei yang dilakukan Telkomsel, tidak semua wilayah Indonesia cocok untuk tenaga matahari. Teknologi ini cocok diterapkan di wilayah Timur Indonesia. Investasi lebih besar, tentu saja, diperlukan untuk teknologi lain seperti mini hydro. Dengan demikian perlu dipikirkan teknologi apa yang efisien di masing-masing desa.

Boleh jadi investasi yang dibutuhkan untuk penyediaan energi pengganti listrik PLN jauh lebih besar dibandingkan dengan investasi untuk pembangunan infrastruktur dan penyediaan perangkat pendukung pada Desa Pinter. Sekadar ilustrasi, infrastruktur Telkomsel Merah Putih yang dipasang di pelosok, investasi per titik tak sampai Rp 50 juta. Sementara investasi untuk pengadaan teknologi tenaga surya bisa mencapai Rp 100 juta.

Listrik menjadi kendala bagi pengembangan program Desa Berdering. Andaikata menggunakan teknologi alternatif, diperlukan biaya yang sangat besar. Bilamana pengembangan program ini paralel dengan ketersediaan listrik, tentu saja target terwujudnya program Desa Berdering tidak akan tercapai. Apalagi banyak pihak meragukan PT PLN mampu mewujudkan elektrifikasi 100 persen pada tahun 2020. Lantas?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement