REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG--Batuan di susunan tata surya juga ikut mengorbit matahari. Suatu saat, batuan ini berpapasan dengan Bumi. Saat itu, gravitasi Bumi menarik batuan tersebut. Lalu, masuklah batuan itu ke atmosfer Bumi dan bergesekan di dalamnya.
Gesekan dengan atmosfer Bumi menyebabkan tekanan pada batuan tersebut dan menimbulkan panas.
Batuan meteor itu bisa saja menyala. "Saat meteor itu masuk ke ketinggian 100 kilometer dari permukaan Bumi, maka saat itu, volume atmosfer sangat padat dan menggesek meteorit. Semakin mendekati Bumi, tekanannya semakin tinggi," jelas Thomas Djamaluddin, pakar astronomi dan astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Suhu akibat gesekan pun semakin tinggi. Hal ini mengakibatkan efek panas pada batuan meteor dan bisa melelehkan sebagian dari batu tersebut. Efek panas pada meteorit itu, terbawa pada saat batu tersebut jatuh ke Bumi. Djamaluddin mengatakan, efek panas batu meteorit itu tidak seperti efek pembakaran api. Efek panas meteorit itu hanya merupakan tekanan panas saja yang menghanguskan tapi bukan membakar.
Mengenai bermunculannya fenomena meteor jatuh atau meteor sporadis yang tak tentu ini, Djamaluddin mengatakan proses itu terjadi secara alami dan normal. "Fenomena ini tak terkait adanya peningkatan daya gravitasi Bumi, atau pemadatan atmosfer, efek rumah kaca, perubahan iklim atau pemanasan global, atau pun lubang ozon. Semua itu alami," tutur dia.
Selain meteorit, Djamaluddin juga mengatakan bahwa di awal Mei 2010, tepatnya Kamis (6/5) malam, terjadi fenomena hujan meteor. Hujan meteor ini berbeda dengan jatuhnya meteorit. Sedangkan hujan meteor, menurutnya, disebabkan debu-debu sisa komet yang ukurannya seperti pasir atau lebih kecil lagi. "Debu-debu ini dalam beberapa detik masuk ke atmosfer dan juga habis terbakar," ujarnya.