REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengembalikan 38 relik kuno asal China sebagai bentuk kerja sama repatriasi budaya. Menurut juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, puluhan relik itu diterima pada 17 April di Konsulat Jenderal China di New York, AS.
"Peninggalan itu mencakup berbagai macam barang bernilai sejarah, seni dan ilmiah yang penting," kata Lin saat konferensi pers di Beijing, China.
Sebagian besar dari 38 benda peninggalan budaya tersebut adalah artefak Buddha Tibet dari Dinasti Ming (1368-1644), Dinasti Qing (1644-1911) dan beberapa di antaranya diyakini berasal dari Dinasti Yuan (1271-1368).
"Relik tersebut ditemukan dan disita oleh otoritas AS pada bulan Maret. Setelah mendapat informasi mengenai penyitaan tersebut, pemerintah China memprioritaskan hal tersebut dan segera melakukan verifikasi," kata jubir.
Atas kerja sama pihak AS, ujar Lin, peninggalan budaya tersebut berhasil dikembalikan. Relik-relik tersebut juga akan dibawa kembali ke China oleh otoritas yang berwenang pada yang akan ditetapkan kemudian hari.
"China dan AS sudah menandatangani nota kesepahaman antarpemerintah mengenai pencegahan masuknya peninggalan budaya China secara ilegal ke AS pada 14 Januari 2009. MoU tersebut diperpanjang untuk ketiga kalinya pada 14 Januari tahun ini," ungkapnya.
Pengembalian 38 relik budaya tersebut merupakan bagian kerja sama repatriasi budaya yang pertama sejak perpanjangan MoU, sekaligus menjadi langkah untuk mewujudkan kesepahaman bersama yang dicapai presiden AS dan China di San Francisco pada November 2023.
"China akan terus menindaklanjuti MoU tersebut, bekerja sama dengan AS untuk membangun mekanisme yang baik soal peninggalan budaya yang dicuri, melindungi peninggalan budaya, mendorong pertukaran budaya serta memberikan dukungan efektif untuk meningkatkan pertukaran dan persahabatan antar masyarakat kedua negara," kata Lin.
Di antara peninggalan budaya yang dikembalikan adalah patung Buddha, peralatan ritual dan ornamen keagamaan. Relik-relik itu terbuat dari perunggu, tanah liat, gading dan kayu baik berupa ukiran, patung maupun lukisan.
Beberapa relik sangat unik, misalnya pecahan ubin bergambar Buddha yang jarang dilihat sebelumnya. Diperkirakan lukisan tersebut dilukis pada abad ke-16 di prefektur Ngari, wilayah otonomi Xizang, dan kemudian dicuri.
Pada 2009, China dan AS menandatangani nota kesepahaman yang bertujuan untuk mencegah impor ilegal "peninggalan arkeologi yang mewakili warisan budaya China dari periode Paleolitik (sekitar 75.000 SM) ke AS hingga akhir Dinasti Tang (618-907) dan seni pahat maupun dinding monumental yang berusia minimal 250 tahun".
Berdasarkan perjanjian ini, AS telah mengembalikan 504 potongan peninggalan budaya Tiongkok dalam 15 kali pengembalian. MoU tersebut diperbarui pada 2014 dan 2019 serta pada Januari 2024.
Salah satu contoh penerapan MoU tersebut adalah pada 2021, sebanyak 12 benda peninggalan budaya Buddha yang hilang berhasil disita Kantor Kejaksaan Distrik Manhattan kemudian dikembalikan ke China.
Peninggalan tersebut sekarang disimpan di Museum Tibet di Lhasa, ibu kota Xizang.
Menurut asosiasi "Chinese Society of Cultural Relics", terdapat lebih dari 10 juta artefak asal China yang berada di luar negeri sejak Perang Candu pada 1840 karena peperangan dan perdagangan gelap.
China juga telah memperkuat upaya repatriasi melalui ratifikasi dua konvensi utama UNESCO dan International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT) mengenai pengembalian benda-benda budaya yang dicuri dan dijarah.
Selain itu, China sudah menandatangani perjanjian bilateral dengan 26 negara untuk memerangi pencurian, penggalian ilegal dan penyelundupan barang bersejarah. Upaya tersebut setidaknya telah memulangkan lebih dari 150.000 artefak dari 300 misi repatriasi sejak 1949.