REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sering kali, medan magnet matahari yang mendidih mengeluarkan awan-awan plasma yang sangat besar ke luar angkasa. Ini disebut lontaran massa koronal (CME).
Dilansir Space, Rabu (3/4/2024), jika salah satu CME menghantam Bumi, misalnya, maka akibatnya akan berupa aurora yang spektakuler dan gangguan-gangguan yang sama spektakulernya terhadap jaringan-jaringan listrik dan satelit-satelit.
Kini, Parker Solar Probe milik NASA telah mengintip ke dalam CME untuk pertama kalinya saat ia meletus dari matahari. Instrumen pendeteksi cahaya tampak, Wide-field Imager for Parker Solar Probe (WISPR) menangkap pusaran-pusaran turbulens yang jelas di dalam CME.
Pusaran-pusaran inilah yang oleh fisikawan disebut sebagai ketidakstabilan Kelvin Helmholtz (KHI). Para fisikawan berpendapat peristiwa KHI terjadi setiap kali satu bagian fluida yang bergerak cepat berinteraksi dengan fluida lain. Di Bumi, KHI terjadi di awan ketika kecepatan angin di salah satu ujung awan berbeda dengan ujung lainnya.
Para fisikawan matahari telah menyimpulkan bahwa KHI ada di CME, karena plasma di CME bergerak berlawanan dengan latar belakang angin matahari. Namun mereka tidak pernah memiliki peralatan yang memadai, di tempat yang tepat, untuk mengamati fenomena tersebut.
“Turbulensi yang menimbulkan KHI memainkan peran mendasar dalam mengatur dinamika CME yang mengalir melalui angin matahari sekitar,” kata Evangelos Paouris, fisikawan matahari di George Mason University, Amerika Serikat (AS), dalam sebuah pernyataan. Oleh karena itu, memahami turbulensi adalah kunci untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang evolusi dan kinematika-kinematika CME.
Parker Solar Probe diluncurkan pada 12 Agustus 2018. Sejak saat itu, orbit elips dari wahana tersebut telah memungkinkannya untuk memasuki korona matahari lebih dekat dari sebelumnya. Pada dasarnya, ini menjadi objek buatan manusia pertama yang memasuki atmosfer terluar matahari, hanya 11,5 jari-jari matahari dari permukaan matahari.
Hingga saat ini, Parker Solar Probe belum memasuki orbit terakhirnya. Pesawat luar angkasa tersebut telah berulang kali terbang melewati Venus untuk menggunakan gravitasi planet tersebut guna meningkatkan kecepatannya dan memperketat orbitnya mengelilingi matahari.
Pada November tahun ini, wahana tersebut akan terbang melewati Venus untuk ketujuh kalinya, sehingga memperketat lingkarannya terhadap matahari lagi, sehingga memungkinkannya untuk melintas hanya dalam jarak 9,5 jari-jari matahari dari matahari pada 2025 dan seterusnya.