REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG----Komputer kuantum, akan menjadi lompatan teknologi paling signifikan sejak ditemukannya transistor pada 1947. Saat ini, telah dipelajari dan eksis di Sekolah Teknik Elektro Informatika (STEI) ITB. Selain itu, keberadaannya akan dibekali filsafat sains.
Menurut Guru Besar STEI ITB, Prof Andriyan Bayu Suksmono, MT PhD, tiga perangkat familiar komputasi quantum di dunia adalah Boson Sampling (komputasi paling sederhana dan mudah tapi belum ada manfaatnya). Lalu, Quantum Logic Gate (bisa diprogram lebih leluasa merujuk temuan algoritma Peter Shor) serta Quantum Annealer (bisa diprogram dalam permasalahan-permasalahan optimasi saja).
"Di sisi lain, tahun 2016, Cina sudah kembangkan Quantum Satelit yang bisa sambungkan satu benua ke benua lainnya, manakala serat optik terbatas cakupan 10-100 km saja. Secara umum, ada tiga aspek keilmuan yang terus dikembangkan yakni quantum computing, quantum komunikasi, dan quantum sensor," ujar Bayu, dalam Bedah Buku Topikal: "Filsafat Sains dari Newton, Einstein, hingga Sains Data" karya Dimitri Mahayana di ITB, awal pekan ini.
Di STEI ITB, kata dia, sudah ada perangkat keras terkait quantum computing yakni 2 Qubit NMR Based Gemini Pro by Spin Qsejak 2021 dengan prinsip Hadamard Matrics, Quantum Annealing dari D-Wave System serta satu perangkat lagi bernama TeachSpin Quantum.
Menurutnya, perusahaan raksasa komputer seperti IBM sudah berhasil membangun IBM Condor dengan kemampuan 1.121 qubit. Ini sesuatu yang dahsyat karena dengan kemampuan 30 Qubit saja sudah bisa operasikan laptop di seluruh dunia, 50 qubit (Super Computer se-dunia), 80 Qubit (semua komputer se-dunia, sehingga AI bisa lebih hebat lagi), serta 300 qubit (seluruh partikel atom se-dunia).
Komputasi quantum bekerja sangat berbeda dengan komputer konvensional. Jika komputer biasa menggunakan bit dalam keadaan 0 atau 1, komputer kuantum memanfaatkan cubit yang bisa berupa 0, 1, atau keduanya sekaligus.
Inilah yang memungkinkannya melakukan perhitungan kompleks secara simultan. Dengan ini, komputer kuantum bakal mengubah segalanya, dari pengobatan, kecerdasan buatan, hingga cara pandang publik tentang alam semesta.
Perusahaan farmasi bisa mensimulasikan interaksi obat pada tingkat molekular, demikian pula untuk penemuan bahan bakar fosil hingga baterai baru. Kasus penggunaan darinya dapat berupa optimasi portofolio di bidang keuangan atau simulasi sistem kimia, memecahkan masalah yang saat ini mustahil dilakukan bahkan oleh superkomputer paling kuat di pasar.
Hal ini bisa diraih karena komputasi kuantum adalah bidang multidisiplin yang terdiri dari aspek ilmu komputer, fisika, dan matematika. Ketiganya memanfaatkan mekanika kuantum untuk memecahkan masalah kompleks lebih cepat daripada komputer biasa.
Menyadari kekuatannya komputasi kuantum, Dosen Sekolah Teknik Elektro Informatika ITB Dr Dimitri Mahayana menekankan pentingnya pemikiran kritis yang tercakup dalam filsafat sains atas perkembangan pesat komputasi kuantum tersebut.
Menurutnya, yang sangat perlu pada filsafat sains adalah pendekatan aksiologis yakni filsafat mempertanyakan komputasi quantum ini mau jadi sarana apa, serta ujungnya akan seperti apa.
"Kalau seorang Enstein yakni bom atom bisa dibuat, apa dia buat paper-nya? Kan tidak. Ada pula teknologi seluler yang membuat smartphone kita bisa jadi pemancar, tapi ini tak bisa jadi sarana kebaikan luas bagi masyarakat karena pemerintah dan operator jadi tak bisa atur. Karena itu, untuk perjuangan rakyat, maka harus kuasai ilmunya secara komprehensif," katanya.
Kerangka kerja filsafat penting, kata dia, karena sudah banyak riset dari perguruan tinggi yang saat hilirasi industri, pada akhirnya tak melibatkan lebih riil kepada kampus. Contohnya adalah riset mobil listrik di Indonesia yang tak berefek langsung saat sudah komersialisasi.
Dari sisi ontologi, kata dia, pembelajar komputasi quantum harus memahami bahwa perangkat tersebut bukan lagi sekedar alat hitung atau mesin mekanik. Tapi lebih dari itu, dengan berbagai progresivitas di dalamnya, maka juga bahkan bisa mengubah realita kehidupan.
"Sementara dari sisi epistomologis adalah adanya tantangan bagi mekanika kuantum terkait teory of everything, semua bisa diketahui dan dipastikan dari penelitian sains. Bahwa sebenarnya tetap ada batas pengetahuan manusia yakni ketika pengukuran dari ilmu pengetahuan tak bisa diteliti lagi," katanya.
Dimitri mengatakan, pengembangan ilmu tersebut juga harus memperhitungkan sisi paradoks ontologi. Yakni sekalipun disebut sebagai ilmu supremasi karena saking kuatnya, tapi praktekanya tetap ditemukan noisy hingga kondisi tidak stabil sehingga perlu ditangani oleh ilmu kontrol kuantum.
"Terakhir adalah pendekatan epistomologi Quantum Entanglement, yakni qubit (quantum bit,red) terkait dalam keadaan terbelit akan saling mempengaruhi bahkan jika mereka berjauhan. Ini dapat digunakan dalam algoritma kuantum untuk melakukan perhitungan dengan efisiensi lebih besar daripada komputer klasik. Jadi, ini tanda bahwa hidup kita ini tidak berbasis realitas tapi tafsir atas realitas tersebut," katanya.