REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengunduran jadwal misi Artemis 2 dan Artemis 3 tampaknya memunculkan kekhawatiran bagi pemerintah Amerika Serikat (AS). Terlebih, China telah memasang target untuk melampaui Negeri Paman Sam tersebut sebagai pemimpin dunia di luar angkasa pada 2045.
Kekhawatiran AS tersebut tersirat dalam rapat dengar pendapat yang digelar oleh Komite Sains, Luar Angkasa, dan Teknologi dari Dewan Perwakilan Rakyat AS. Rapat dengar pendapat ini digelar untuk membahas soal rencana Artemis yang baru.
Seperti diketahui, Artemis merupakan program eksplorasi bulan yang dipimpin oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA). Pekan lalu, NASA baru saja mengumumkan jadwal peluncuran misi Artemis 2 dan Artemis 3 yang baru.
Melalui misi Artemis 2, NASA akan mengirim empat orang astronot ke bulan untuk mengambil sampel dari asteroid yang kini berada di orbit bulan. Misi Artemis 2 yang semula dijadwalkan akan meluncur pada November 2024 kini diundur menjadi September 2025.
Sedangkan melalui misi Artemis 3, NASA akan mengirim astronot perempuan pertama dan astronot kulit berwarna pertama ke bulan. Di bulan, kedua astronot ini akan melakukan beragam observasi ilmiah, termasuk sampling terhadap water ice yang ada di bulan. Misi yang seharusnya akan meluncur pada Desember 2025 kini diundur menjadi September 2026.
Pengunduran jadwal misi Artemis 2 dan Artemis 3 hingga setahun lamanya ini dipicu oleh keperluan teknis. Pihak NASA menilai perlu adanya lebih banyak studi terhadap perangkat keras kunci Artemis, seperti perisai panas pada kapsul kru Orion. Seperti diketahui, perisai panas ini tidak menunjukkan performa yang sesuai harapan saat dibawa dalam misi Artemis 1 di 2022.
Ketua Komite Frank Lucas membuka rapat dengar pendapat dengan mengingatkan semua pihak bahwa AS bukan satu-satunya negara yang tertarik untuk mengirim manusia ke bulan. Lucas menyatakan bahwa Partai Komunis China saat ini sedang aktif mencari rekanan internasional untuk membangun stasiun penelitian di bulan.
"Dan (China) telah menyatakan ambisinya untuk mengirimkan astronot manusia ke permukaan (bulan) pada 2030," tambah Lucas.
Mengingat bahwa jadwal misi-misi Artemis kerap mengalami pengunduran, ada peluang bagi China untuk menyalip AS dalam mengirim astronot manusia ke bulan. Menurut Lucas, negara yang lebih dulu mendaratkan manusia ke bulan di masa depan akan mendapatkan lebih banyak keuntungan.
"Negara yang mendarat lebih awal akan memiliki kemampuan untuk menentukan preseden mengenai apakah aktivitas bulan di masa depan akan dilakukan dengan keterbukaan dan transparansi atau dengan pembatasan," tukas Lucas.
Hal serupa juga diungkapkan oleh anggota komite bernama Zoe Lofgren. Lofgren menyatakan bahwa dia mendukung misi Artemis. Akan tetapi, dia juga ingin mendapatkan mendapatkan kepastian bahwa misi tersebut akan berjalan sukses.
"Terlebih dengan adanya China di belakang kita," terang Lofgren.
Beberapa anggota komite mengingatkan NASA bahwa perlombaan misi ke bulan dengan China ini merupakan bagian dari kompetisi yang lebih luas dengan China. Bila China berhasil dan membuat AS turun ke posisi kedua, keamanan nasional AS bisa dipertaruhkan.
"Bukan rahasia bila China memiliki tujuan untuk membalap AS pada 2024 sebagai pemimpin global di luar angkasa. Kita tak bisa membiarkan ini terjadi," terang anggota komite lainnya, Rich McCormick.
Acting Inspector General NASA, George Scott, dan perwakilan dari Government Accountability Office (GAO), William Russell, turut mendiskusikan beragam tantangan yang mereka hadapi dalam menjalankan program Artemis. Terutama terkait tujuan utama mereka yaitu membangun base untuk astronot di dekat kutub selatan bulan. Beberapa kendala tersebut adalah jadwal peluncuran yang ambisius, kurangnya transparansi mengenai timeline yang telah ditentukan, serta biaya untuk menjalankan program Artemis.
"(Tanpa perhitungan dan laporan keseluruhan biaya yang akurat) Kongres akan sulit membuat keputusan mengenai kebutuhan pendanaan jangka panjang untuk NASA," terang Scott.