REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika dunia terus mengalami krisis iklim dengan suhu yang memecahkan rekor, para ilmuwan telah mengembangkan lapisan kaca baru. Lapisan yang disebut cooling glass atau metode kaca pendingin ini dianggap sangat reflektif untuk membantu mendinginkan suhu bumi yang memanas dengan cepat.
Secara teori, lapisan tersebut merupakan campuran partikel kaca dan aluminium oksida yang tidak mahal, dapat memantulkan sinar matahari dalam jumlah besar dari permukaan yang dicat, seperti atap bangunan dan jalan.
Uji laboratorium menunjukkan bahwa radiasi tersebut memantulkan hingga 99 persen radiasi matahari kembali ke luar angkasa. Jika hal ini berhasil, “kaca pendingin” bisa menjadi cara yang menjanjikan untuk menurunkan suhu di seluruh bumi, menurut para peneliti di balik penelitian kaca baru tersebut.
"Kaca pendingin ini lebih dari sekadar material baru, ini adalah bagian penting dari solusi perubahan iklim," kata Xinpeng Zhao, ilmuwan peneliti di University of Maryland yang memimpin studi baru tersebut, dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari laman Space, Kamis (4/1/2024).
Hal ini dapat mengubah cara hidup manusia dan membantu menjaga rumah seeta planet dengan lebih baik. Meskipun sebagian besar permukaan melepaskan panas secara alami, Bumi juga mendinginkan dirinya dengan melepaskan panas ke luar angkasa.
Hal itu terutama pada malam yang cerah, di mana lapisan yang baru dikembangkan mempercepat proses tersebut dengan memantulkan sinar matahari dalam sesuatu yang disebut jendela transparansi atmosfer. Jendela tersebut adalah rentang spektrum elektromagnetik yang dapat melewati atmosfer bumi dan keluar di luar angkasa tanpa meningkatkan suhunya.
Sehingga itu secara efektif menggunakan ruang angkasa sebagai penyerap panas. Cuaca yang lebih sejuk yang disebabkan oleh efek pendinginan kaca dan/atau tindakan lain untuk melawan perubahan iklim dapat mendorong masyarakat untuk mengurangi penggunaan AC, menurut Zhao.
Cat berbahan dasar keramik baru dari tim ini, yang hadir dalam empat warna, merupakan produk baru karena tahan lama setidaknya selama 30 tahun, berkat kemampuannya menahan suhu hingga 1.000 derajat Celsius serta paparan air dan bahkan nyala api, menurut studi baru.
“Dalam hal ini, saya pikir ini jelas merupakan strategi yang menarik dan berpotensi efektif,” kata Aaswath Raman, seorang profesor ilmu material di University of California, Los Angeles, yang tidak terlibat dalam studi baru ini.
Pada akhirnya, lapisan baru ini harus "bersaing dengan serangkaian pendekatan yang sudah ada, di mama itu juga menunjukkan potensi daya tahan yang lama. Penelitian baru ini dijelaskan dalam makalah yang diterbitkan di jurnal Science.