REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati, mengungkapkan sejumlah faktor yang membuat angka bunuh diri meningkat, termasuk di kalangan anak dan remaja. Beberapa di antaranya amat dipengaruhi oleh era teknologi, di samping itu ada pandemi Covid-19.
“Sejak 15 tahun lalu sudah ada penelitian-penelitian yang menunjukkan kehadiran teknologi itu menghadirkan tingkat stres yang tinggi terhadap manusia-manusia yang hidup di era ini. Jauh dibandingkan dengan masyarakat yang tidak hidup di era digital. Itu satu hal,” ucap Devie kepada Republika.co.id, Jumat (15/12/2023).
Devie menyebutkan, faktor penyebab kedua adalah pandemi Covid-19. Menurut dia, pandemi Covid-19 menyebabkan kenaikan angka bunuh diri. Bahkan, kata dia, hal itu dilakukan oleh anak dan remaja. Devie menjelaskan, faktor tersebut sudah terukur di negara-negara maju dan secara umum dapat terjadi juga di Indonesia.
Lalu faktor ketiga yang dia sebut adalah media. Dia menjelaskan, anak dan remaja adalah manusia yang masih mencari jati diri lantaran belum punya pengetahuan dan pengalaman hidup. Maka, rujukan mereka bukan lagi dari pergaulan maupun orang tua, tetapi media.
“Media sekarang itu banyak kemudian menampilkan referensi-referensi yang dijadikan rujukan oleh anak dan remaja untuk mengambil keputusan ketika menghadapi masalah. Salah satunya bunuh diri,” terang dia.
Dia memberikan contoh kasus yang sudah diteliti di Amerika Serikat. Di mana, ketika ada sebuah serial berjudul ’13 Reasons Why’ yang keluar pada tahun 2017 terjadi peningkatan signifikan angka bunuh diri yang dilakukan anak dan remaja.
Tidak selesai di situ, ada faktor keempat yang menurut dia turut membuat hal itu terjadi, yakni faktor pola asuh digital. Devie menuturkan, pola asuh digital yang saat ini banyak terjadi membuat anak dan remaja semakin merasa kesepian. Sebab, orang tua kini bukan hanya sibuk mencari pendapatan ekonomi, tapi juga asik dengan teknologi digital sehingga anak yang membutuhkan pendampingan terabaikan
“(Perhatian pada anak penting) agar ketika dia ada masalah, dia nggak perlu lihat nonton TV. Nonton TV kebetulan tayangannya juga ada tayangan bunuh diri dan kekerasan, dia akhirnya melihat, ‘oh yaudah, berarti nggak ada masalah dong bunuh diri’, kan itu problemnya,” jelas dia.
Jadi, kata dia, empat alasan itulah yang berdasarkan studi-studi yang mendorong potensi anak dan remaja di dunia melakukan bunuh diri. Pola-pola seperti itu juga bisa terjadi di Indonesia, yang penelitian dan data-datanya sulit untuk dilihat. Sebab itu, dia mengambil referensi-referensi itu.