Jumat 15 Dec 2023 15:10 WIB

Pelayat di Cina Gunakan AI untuk Bangkitkan Orang Meninggal

Industri AI khusus untuk 'bot hantu' berkembang di Cina.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani / Red: Friska Yolandha
Artificial Intelligence, ilustrasi
Foto:

Dari ruang kerja di timur Kota Jingjiang, Zhang mengatakan dalam hal teknologi AI, Cina berada di kelar tertinggi di dunia. “Ada begitu banyak orang di Cina, banyak di antaranya yang memiliki kebutuhan emosional, sehingga memberi kami keuntungan dalam hal permintaan pasar,” kata dia 

Super Brain mengenakan biaya antara 1.400 dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp 21,7 juta hingga 2.800 dolar AS atau sekitar Rp 43,4 juta  untuk membuat avatar dasar dalam waktu sekitar 20 hari. Mulai dari mereka yang telah meninggal hingga orang tua yang masih hidup yang tidak dapat menghabiskan waktu bersama anak-anak mereka, dan, yang kontroversial, mantan pacar wanita yang patah hati. 

Klien bahkan dapat melakukan panggilan video dengan anggota staf yang wajah dan suaranya secara digital dilapis dengan orang-orang yang telah hilang. “Pentingnya bagi… seluruh dunia sangatlah besar,” kata Zhang. “Versi digital seseorang (bisa) ada selamanya, bahkan setelah tubuhnya hilang.”

Sima Huapeng, pendiri Silicon Intelligence yang berbasis di Nanjing, mengatakan teknologi ini akan “menghadirkan humanisme jenis baru”. Dia menyamakannya dengan potret dan fotografi, yang membantu orang memperingati orang meninggal dengan cara-cara yang revolusioner. 

Tal Morse, peneliti tamu di Centre for Death and Society di Universitas Bath, Inggris, mengatakan bot hantu mungkin menawarkan kenyamanan. Namun dia memperingatkan bahwa diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami implikasi-implikasi psikologis dan etika dari hal ini.

"Pertanyaan kuncinya di sini adalah... seberapa 'setia' bot hantu terhadap kepribadian yang dirancang untuk mereka tiru," kata Morse kepada AFP. "Apa yang terjadi jika mereka melakukan hal-hal yang akan 'mencemari' ingatan orang yang seharusnya mereka wakili?"

Kebingungan lain muncul dari ketidakmampuan orang yang sudah meninggal untuk memberikan persetujuannya, kata para ahli. Meskipun izin mungkin tidak diperlukan untuk meniru ucapan atau perilaku, izin mungkin diperlukan untuk "melakukan hal-hal tertentu dengan tiruan tersebut", kata Nate Sharadin, seorang filsuf di Universitas Hong Kong yang berspesialisasi dalam AI dan dampak-dampak sosialnya.

Bagi Zhang dari Super Brain, semua teknologi baru adalah pedang bermata dua. “Selama kita membantu mereka yang membutuhkan, saya tidak melihat ada masalah,” ujar Zhang. 

 

Dia tidak bekerja dengan pihak-pihak yang mungkin terkena dampak negatif dari hal ini, katanya, mengutip seorang wanita yang mencoba bunuh diri setelah kematian putrinya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement