REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pada era teknologi kecerdasan buatan (AI) saat ini, manusia tentunya harus tetap sadar bahwa persaingan yang dihadapi dengan teknologi itu tidaklah mudah.
Dalam paparan ilmiahnya, profesor dari Tsinghua University yang juga merupakan ahli psikologi kognitif kelas dunia, Stella Christie, dengan revolusi yang dihadirkan AI, ketakutan adalah hal yang perlu dirasakan.
Namun, ketakutan di sini bukan bermakna buruk, melainkan ketakutan ini menyadarkan akan adanya persaingan. “Ketakutan itu harus disertai kesadaran bahwa walaupun sangat membantu ternyata kecerdasan buatan (AI) tidak sepintar yang kita pikirkan,” ujar Prof Stella dalam diskusi bertema ‘Into the Age of Human-Machine Companionship’ yang digelar di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD Tangerang, beberapa waktu lalu.
Terciptanya hubungan kemitraan manusia dengan mesin kecerdasan buatan (AI) seakan menjadi penanda yang membuka babak baru perkembangan zaman. Kemitraan ini dipercaya mampu membawa manusia untuk melampaui kemampuannya saat ini.
Untuk itu, ia mengingatkan agar manusia harus memiliki pedoman, yang dapat membuat manusia mampu bersaing sukses melalui kemampuan yang tidak dimiliki oleh AI. “Jika kita hanya memiliki kemampuan yang dimiliki AI, maka kita akan tertinggal dan tak dapat bersaing ke depannya,” kata Prof Stella.
Kemampuan yang harus dimiliki manusia, pertama adalah keterampilan manusia. Ini menjadi letak esensi seorang manusia, karena secanggih-canggihnyanya AI, mereka tetap harus dioperasikan oleh manusia.
Kedua adalah berpikir sistematis. AI tidak dapat berpikir secara sistematis dan hanya didasari oleh data, sedangkan manusia bisa berpikir secara sistematis. “Hari ini saya berharap Anda tetap harus memiliki dan mengingat kedua pedoman ini agar bisa sukses bersaing di era kecerdasan buatan (AI),” ujar Prof Stella.
Sementara itu, Kepala Bagian Umum Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah III Kemendikbud RI Noviyanto mengatakan, Indonesia telah menetapkan tujuan jangka panjang pada 2045, yaitu menjadi Indonesia emas, saat usia negara ini menginjak usia 100 tahun. “Para lulusan (perguruan tinggi) harus memiliki keunggulan komparatif agar mampu bersaing di kancah nasional dan internasional. Kemampuan harus dikembangkan tidak hanya dalam bidang akademis, tapi juga pengembangan kemampuan sosial dan soft skills,” kata dia.
Ia mengajak seluruh anak muda untuk terus meningkatkan kualitas diri, untuk menghadapi tantangan dan peluang di masa yang akan datang. Karena, anak muda adalah generasi yang dapat menentukan masa depan Indonesia dengan cara yang kreatif dan inovatif.