REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan aneka kacang lokal yang tumbuh di Indonesia merupakan sumber daya genetik tanaman pangan penting bagi masyarakat dan berpotensi sebagai pengganti kedelai. Kepala Pusat Riset Tanaman Pangan BRIN Yudhistira Nugraha mengatakan kedelai yang didatangkan melalui perdagangan impor menggerus devisa negara, sehingga solusi kacang pengganti harus tersedia.
"Banyak potensi yang bisa dikembangkan dari komoditas aneka kacang selain kedelai, seperti kacang hijau, kacang arab, kacang koro, kacang buncis, dan lainnya," kata Yudhistira dalam keterangan di Jakarta, Jumat (10/11/2023).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, volume impor kedelai mencapai 2,32 juta ton dengan nilai sebesar 1,62 miliar dolar AS pada tahun 2022. Impor kedelai yang masuk ke Indonesia paling banyak berasal dari Amerika Serikat (AS) dengan volume mencapai 1,92 juta ton.
Jumlah itu setara 82,75 persen dari total impor kedelai nasional. BRIN membangun kerja sama dengan Universitas Osaka Jepang terkait diversifikasi pangan. Salah satu kerja sama riset kedua lembaga tersebut adalah pemanfaatan kacang lokal untuk produksi tempe.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Tanaman Pangan BRIN Didik Harnowo mengatakan aneka kacang lokal adalah pangan fungsional yang akan menjadi sumber pangan penting bagi masyarakat di masa depan. Menurutnya, isu krisis pangan yang kian santer terjadi pada banyak negara, termasuk Indonesia, membuat para ilmuwan terus berupaya menemukan sumber-sumber pangan yang proven.
"Di Indonesia, jenis tanaman kacang lokal cukup banyak dan sudah dibudidayakan sejak lama. Meskipun tidak intensif, namun sudah tersebar di berbagai wilayah. Kacang lokal masih dinilai sebagai neglected crops serta belum ada data produksi secara lengkap," kata Didik.
Dia memaparkan ada sejumlah ciri umum dan keunggulan kacang lokal. Kacang lokal terkenal relatif tahan kekeringan, kebutuhan input (utamanya pupuk) rendah, belum banyak hama atau penyakit menyerang, hingga budi daya relatif mudah.