Rabu 25 Oct 2023 23:26 WIB

Bencana Alam Ternyata Bisa Ganggu Hormon Tubuh, Ini Penjelasan Ilmiahnya

Trauma akibat bencana alam dapat berdampak terhadap kesehatan penyintas.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Natalia Endah Hapsari
Peristiwa bencana alam dan cuaca yang traumatis dapat memicu gangguan hormon dalam jangka panjang.  (ilustrasi)
Foto: Dok Republika.co.id
Peristiwa bencana alam dan cuaca yang traumatis dapat memicu gangguan hormon dalam jangka panjang. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bencana alam bisa merenggut banyak hal dalam hidup manusia, seperti harta, tempat tinggal, bahkan nyawa. Hal yang belum diketahui sebelumnya, bencana alam rupanya juga dapat berdampak pada sistem hormonal dalam tubuh penyintasnya.

Sebuah studi terkini telah membuktikan hal itu, yang diterbitkan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences. Dikutip dari laman Popular Science, Rabu (25/10/2023), tim peneliti dari lintas universitas di Amerika Serikat meninjau kondisi penyintas bencana alam.

Baca Juga

Para penyintas yang diteliti kondisinya adalah yang selamat dari tsunami besar di Aceh, Indonesia, pada Desember 2004. Bencana itu telah menewaskan lebih dari 230 ribu orang, dan banyak dari mereka yang selamat melaporkan gejala stres pasca-trauma. 

Namun, dampak kesehatan lainnya yang semula tak terdeteksi masih bertahan hingga satu dekade kemudian. Sebagai bagian dari proyek besar yang bertujuan mensurvei dampak jangka panjang itu, para ilmuwan bergabung dengan kolaborator di Indonesia pada 2018.

Mereka mempelajari hormon stres utama, kortisol, para penyintas. Caranya, dengan mengambil sampel molekul dari rambut orang dewasa. Para peneliti menemukan bahwa perempuan yang selamat dari bencana tsunami memiliki tingkat kortisol yang lebih rendah.

Menurut para peneliti, itu menandakan sejenis “kelelahan” hormonal sebagai respons terhadap pemicu stres yang berulang. Temuan tersebut menekankan bagaimana trauma akibat bencana alam dan peristiwa cuaca ekstrem dapat berdampak lebih luas terhadap kesejahteraan dan kesehatan si penyintas jauh setelah kejadian awal.

Untuk mendapat hasil itu, tim peneliti mengumpulkan rambut dari setidaknya 600 orang dari komunitas yang terkena dampak parah tsunami Aceh 2004. Bukan berarti tidak ada dampak perubahan kortisol pada laki-laki, namun dalam analisis, dampaknya pada laki-laki tidak signifikan secara statistik.

Sebenarnya, tubuh manusia sangat mahir dalam bereaksi terhadap pemicu stres. Tubuh terus berjuang untuk menjaga keseimbangan sistem biologis setiap kali seseorang menghadapi guncangan atau ancaman baru. Namun, keseimbangan ini ada batasnya.

Dari hasil penelitian tersebut, disebutkan bahwa peristiwa bencana alam dan cuaca yang traumatis dapat memicu gangguan hormon dalam jangka panjang. Tingkat kortisol para penyintas terpengaruh, bahkan lebih dari satu dekade setelah tsunami. Hal yang disoroti adalah pengaturan spesifik poros hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA), yang mengontrol kadar kortisol dan hormon-hormon lainnya. 

Biasanya, kortisol meningkat sebagai bagian dari respons sehat terhadap pemicu stres, dan turun lagi setelah stres tersebut berlalu. "Namun, ketika dihadapkan dengan tingkat stres yang tinggi secara berulang-ulang, sumbu HPA dapat mengalami "kelelahan", dan akhirnya tidak mampu meningkatkan respons sehat untuk bereaksi terhadap stres harian dalam jangka panjang," kata penulis utama studi dari Universitas Harvard, Ralph Lawton. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement