REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Isu mengenai pembalut reject yang ramai diperbincangan karena viral dari curhatan pengguna X menggiring masyarakat pada istilah period poverty. Menurut National Institute of Health (NIH) Amerika Serikat, period poverty merupakan dilema kesehatan masyarakat global yang telah lama diabaikan.
Kondisi tersebut digambarkan sebagai kurangnya akses perempuan terhadap produk menstruasi, pendidikan, dan fasilitas sanitasi. Singkatnya, period poverty berarti jutaan perempuan mengalami ketidakadilan dan kesenjangan akibat menstruasi.
Period poverty merupakan sebuah kata yang terdengar klise namun masih asing di telinga. Seberapa jauh dan berapa banyak orang yang mengetahui kata ini dengan benar? Berapa banyak orang yang sadar dan memahami masalah ini?
Selama pandemi Covid-19, period poverty telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang penting karena banyak orang mulai kehilangan pekerjaan dan mengalami masalah pendapatan karena karantina yang lama dan penutupan banyak usaha.
Sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat melaporkan bahwa pandemi Covid-19 memperburuk period poverty, melalui rendahnya aksesibilitas dan keterjangkauan produk.
Ditemukan bahwa 30 persen responden mengalami kesulitan mengakses produk menstruasi karena wajibnya karantina di rumah, 29 persen kesulitan membeli produk menstruasi, dan 18,5 persen kesulitan membeli produk menstruasi selama pandemi.
Di antara faktor-faktor tersebut, perempuan yang memiliki anak kecil lebih mungkin mengalami kesulitan mengakses produk menstruasi selama pandemi. Akibatnya, mereka yang menunjukkan kesulitan dalam mengakses persediaan menstruasi, lebih cenderung melaporkan ketidakhadiran saat penelitian.
Studi lainnya di Prancis menemukan bahwa perempuan yang mengalami menstruasi yang buruk juga memiliki masalah mental yang signifikan, seperti depresi dan kecemasan. Hampir separuh (49,4 persen) perempuan yang pernah mengalami period poverty melaporkan setidaknya satu gejala psikologis, dibandingkan mereka yang tidak mengalaminya.
Period poverty juga dapat didefinisikan sebagai kurangnya akses terhadap produk menstruasi yang aman dan higienis selama periode bulanan, dan tidak dapat diaksesnya layanan atau fasilitas sanitasi dasar serta pendidikan higienis menstruasi.
Ini tidak hanya berdampak pada negara-negara berpendapatan menengah atau rendah dan negara-negara yang mengalami krisis kemanusiaan, namun juga negara-negara maju. Sebagaimana dibuktikan oleh fakta bahwa 10 persen anak perempuan di Inggris tidak mampu membeli produk-produk menstruasi, 15 persen kesulitan mengakses produk-produk tersebut, dan 19 persen beralih ke produk yang kurang sesuai karena biayanya yang tinggi.
Covid-19 telah menimbulkan beban yang signifikan bagi perempuan, terutama di kalangan kelompok berpenghasilan rendah, karena kebutuhan akan makanan, pemanas, dan penerangan diprioritaskan selama pandemi, sehingga perempuan harus berimprovisasi dengan bahan atau memakai produk lebih lama dari yang diinginkan.
Akibatnya, perempuan kekurangan sumber daya yang diperlukan untuk mengelola menstruasi mereka dengan baik, yang berdampak negatif terhadap kesehatan mereka. Ketika mereka diharuskan mengelola dan menggunakan uang hanya untuk kebutuhan pokok dan mendesak, maka produk menstruasi tidak masuk dalam daftar kebutuhan pokok.
Menstruasi yang hanya melibatkan satu jenis kelamin, kerap dianggap sebagian orang sebagai salah satu hal yang tidak penting dalam hidup. Namun, manusia hidup dengan dua jenis kelamin, laki-laki dikelilingi oleh perempuan dan setiap keluarga memiliki ibu, oleh karena itu, penting untuk memiliki pola pikir bahwa produk menstruasi itu penting.