Sabtu 21 Oct 2023 13:31 WIB

Begini Jejak Politik Dinasti di Negara Demokratis

Politik dinasti adalah hal lumrah terjadi di negara-negara demokratis.

Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka tiba di Kantor DPP Partai Golkar, Palmerah, Jakarta Barat, Sabtu (21/10/2023). Partai Golkar resmi mengusung putra sulung Presiden Jokowi itu sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto.
Foto: Republika/ Febryan A
Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka tiba di Kantor DPP Partai Golkar, Palmerah, Jakarta Barat, Sabtu (21/10/2023). Partai Golkar resmi mengusung putra sulung Presiden Jokowi itu sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA mengatakan politik dinasti adalah hal lumrah terjadi di negara-negara demokratis, baik negara maju maupun negara berkembang, dan suara rakyat menjadi penentu dalam ini.

"Di Amerika Serikat, George H. W. Bush dan anak tertuanya, George W. Bush, keduanya pernah menjadi presiden; sementara anaknya yang lain, John E. Bush, pernah menjadi gubernur di Florida," kata Denny dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu (21/10/2023).

Baca Juga

Menurut dia, hal itu terjadi sebagai konsekuensi dari penerapan prinsip-prinsip demokrasi, terutama prinsip persamaan hak. "Semua warga negara memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin. Seorang warga, entah ia anak petani atau anak presiden, tak boleh didiskriminasi," tambah Denny.

Selain itu, lanjutnya, konstitusi yang merupakan aturan tertinggi di negara demokratis tidak melarang anak pejabat menjadi pemimpin daerah maupun pemimpin nasional saat orang tuanya masih menjabat.

Lagi pula, menurut Denny, kesuksesan seseorang yang mengikuti kontes politik di Indonesia ditentukan oleh rakyat melalui pemilihan yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. "Pada akhirnya, penentuan terpilih atau tidaknya seorang pemimpin berdasarkan hasil pemilihan umum," ucapnya.

Dia pun menuturkan beberapa contoh peran masyarakat dalam persaingan politik di Indonesia.

Misalnya, saat tiga anak Presiden pertama RI Soekarno mendirikan partai, hanya Megawati Soekarnoputri yang sukses menjadi pemimpin partai besar di Indonesia dengan ribuan kader dan simpatisan.

Sementara itu, Sukmawati Soekarnoputri dengan Partai Nasional Indonesia Marhaenisme dan Rachmawati Soekarnoputri dengan Partai Pelopor tidak terlalu populer di kalangan masyarakat. "Oleh karena itu, jika Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka (putra sulung Presiden Joko Widodo) terpilih menjadi bakal calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto, rakyat pula yang akan menjadi penentu (di Pilpres 2024)," kata Denny.

Saat ini, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto merupakan satu-satunya bakal capres yang belum menentukan bakal cawapresnya maupun mendaftarkan diri ke Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.

Gibran diserukan menjadi bakal cawapres untuk Prabowo setelah menerima banyak dukungan dari berbagai pihak, termasuk Partai Golkar dan organisasi relawan Projo.

KPU RI membuka pendaftaran bakal capres dan cawapres untuk Pemilu 2024 pada tanggal 19-25 Oktober 2023.

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Saat ini, terdapat 575 kursi di parlemen sehingga pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2024 harus memiliki dukungan minimal 115 kursi di DPR RI. Bisa juga, pasangan calon diusung oleh parpol atau gabungan parpol peserta Pemilu 2019 dengan total perolehan suara sah minimal 34.992.703 suara.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement