Kamis 19 Oct 2023 11:43 WIB

Ilham Habibie Ungkap Efek Halusinasi Teknologi AI, Seperti Apa?

Penerapan kecerdasan buatan (AI) di negara mana pun belum maksimal.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Natalia Endah Hapsari
Teknologi kecerdasan buatan (AI)memang dimaksudkan sebagai alat bantu untuk manusia dalam menyelesaikan tugas./ilustrasi
Foto: Pexels
Teknologi kecerdasan buatan (AI)memang dimaksudkan sebagai alat bantu untuk manusia dalam menyelesaikan tugas./ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Executive Chairman Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Wantiknas) Ilham A. Habibie mengatakan penerapan kecerdasan buatan (AI) di negara mana pun belum maksimal karena teknologi ini masih relatif baru. Contohnya, di negara Amerika masih melihat AI sebagai tantangan karena perkembangannya sangat pesat. Harvard University pun melarang penggunaan AI generatif.

“Jadi AI itu tidak berhenti di membuat makalah, dia buat video, mungkin suatu ketika buat film lengkap 90 menit bisa oleh AI, siapa tahu, belum saat ini ya ” ujar Ilham di acara International Test Center (ITC) Summit 2023 “Structuring The Future: Disruptive Thinking and New Relevancies” di Jakarta, Rabu (18/10/2023). 

Baca Juga

Tetapi dengan nilai tambah AI,  lanjut Ilham, orisinalitas karya itu dipertanyakan. Lantaran yang ingin dinilai adalah pembuat karyanya, bukan mesinnya. “Jadi untuk itu belum ada satu negara pun yang mengerti bagaimana menerapkan itu, bahkan tantangan utama yang kita lihat saat ini adalah karena luaran sistem AI itu tergantung dengan kriteria-kriteria yang menjadi bagian daripada programnya,” katanya. 

Dia menjelaskan kriteria tersebut ada yang memformulasikan. Kalau dari awal kriteria itu ada bias terhadap hal tertentu, kata Ilham, maka luaran sistem AI-nya juga bias. 

“Terasanya bisa rasis gitu ya karena dia misalnya enggak mau ini enggak mau itu, karena itu tergantung dengan siapa yang buat programnya,”ujarnya. 

Sekarang ini Ilham melihat tantangan utamanya adalah membuat metodologi dan menyepakati semacam etika AI. Bagi Ilham, hal tersebut penting sekali dan jelas tidak ada kesepakatan itu di dunia ini. 

“Misalnya, negara-negara di Eropa itu berbeda dengan Amerika, berbeda dengan Cina. Nah itu enggak ada kesepakatan, jadi sangat beranekaragam. Jadi kalau kita katakan apakah kita di Indonesia sudah mampu? Ya enggak, tapi yang lain juga belum kok. Ini masih sangat dini dan masih banyak sekali perkembangan yang akan kita alami,” jelas Ilham. 

Di sisi lain, Ilham mengungkapkan AI memang dimaksudkan sebagai alat bantu untuk manusia dalam menyelesaikan tugas. Misalnya, membantu kita mengerti data digital yang kita miliki. 

AI sendiri memiliki banyak variasi. Pertama, machine learning. Ini membantu kita mendapatkan struktur data lebih cepat dan membantu kita mengerti struktur data tersebut 

Kedua, deep learning. “Kalau kita mempunyai data yang sangat acak, kita enggak tahu apa-apa mengenai datanya itu, tetap kita bisa gunakan AI. Akan memerlukan waktu yang lebih lama. Itu yang kita sebut sebagai deep learning,” kata Ilham. 

Ilham menyebutkan AI akan membantu dan sudah membantu kita untuk mengerti data sehingga dapat membuat prediksi atau bisa membuat evaluasi dari apa yang telah kita lakukan dengan baik, sehingga kita bisa perbaiki sistem atau metodologi yang kita gunakan. 

Ketiga, face recognition. Dahulu seseorang membuka handphone harus menggunakan kode. Kini dengan face recognition, teknologi itu mengizinkan pemilik handphone untuk dapat masuk ke dalam perangkat asal mengetahui fitur-fitur wajahnya. 

“Ada yang kita sebut sebagai face recognition atau itu adalah dalam dunia AI disebut sebagai computer vision, seolah komputer itu bisa melihat dan itu berdasarkan data tentunya. Tapi itu mempunyai kemampuan kayak dia punya pancaindra, bisa melihat, bisa mendengar, bahkan ke depan bisa yang lain-lain, “ ujarnya. 

Keempat, AI generatif dalam bentuk chatbot. Chatbot tersebut dapat memberi jawaban. Jadi, berkomunikasi dengan AI ini seperti berkomunikasi dengan seorang pakar. 

Ilham kemudian mengungkapkan itu mengagetkan banyak orang. Pun, banyak orang takut pekerjaan yang mereka miliki akan hilang. “(Itu) bisa saja terjadi tapi kalau menurut prediksi saya tidak akan hilang tapi memang tugas yang kita jalankan akan seolah diambil alih oleh AI tapi pasti masih harus ada orang yang cek, terutama generative AI,” katanya. 

Ini karena tidak semua yang disampaikan oleh AI generatif benar. Data-data mereka bersumber dari internet. Tidak semua data yang ada di internet benar. 

“Banyak hoaks. Mesinnya tahu dari mana? Dia enggak tahu, dia cuma tahu yang mana yang paling banyak diklik misalnya” ujar Ilham. 

Maka dari itu, tutur Ilham, pengguna AI harus mengkurasi, berpikir kritis, serta periksa dan periksa kembali (check and recheck). Kalau tidak, bisa keliru. 

“Di dunia AI itu ada efek yang namanya efek halusinasi. Jadi seolah kita dihadapkan dengan satu jawaban yang sempurna tapi banyak yang salah. Nah ini yang harus kita hati-hati,” kata Ilham. 

Selain itu, Ilham memberi contoh pekerjaan sekretaris, akuntan, pengacara dan lain-lain bisa saja terancam dengan kata mungkin yang diperlukan tidak sebanyak sekarang. Namun kalau hilang secara total, Ilham sangat menyangsikan itu. 

“Karena itu masih tetap perlu orang yang justru pengetahuannya lebih senior, dia bisa mengkaji apa yang dikeluarkan oleh mesin itu benar atau tidak, relevan atau tidak dan sebagainya. Jadi kurasi itu masih perlu dan justru itu memerlukan orang-orang yang lebih berkemampuan karena lebih senior,” kata Ilham. 

“Tapi kalau tugas-tugas relatively sederhana, repetitif, terulang-ulang mungkin itu semakin lama semakin tidak lagi dibuat oleh manusia, tapi ada mesin. Jadi ada macam seperti otomatisasi dari hal-hal yang sebetulnya nilai tambah kita sebagai manusia, sebagai profesional terhadap pekerjaan itu relatif rendah.” 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement