Senin 16 Oct 2023 15:10 WIB

Warga Gaza Berjuang Dapatkan Bantuan Makanan dan Air Jelang Invasi Darat Israel

Gaza sudah berada dalam krisis kemanusiaan karena kekurangan air dan pasokan medis.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Nidia Zuraya
Warga Kota Gaza mengumpulkan beberapa harta benda saat mereka mulai mengungsi menyusul peringatan Israel akan peningkatan operasi militer di jalur Gaza, 14 Oktober 2023. Pasukan Pertahanan Israel (IDF) pada 13 Oktober telah menyerukan evakuasi seluruh warga sipil dari Gaza utara menjelang invasi darat yang diperkirakan.
Foto: EPA-EFE/MOHAMMED SABER
Warga Kota Gaza mengumpulkan beberapa harta benda saat mereka mulai mengungsi menyusul peringatan Israel akan peningkatan operasi militer di jalur Gaza, 14 Oktober 2023. Pasukan Pertahanan Israel (IDF) pada 13 Oktober telah menyerukan evakuasi seluruh warga sipil dari Gaza utara menjelang invasi darat yang diperkirakan.

REPUBLIKA.CO.ID, KHAN YOUNIS -- Lebih dari satu juta orang telah meninggalkan rumah mereka di Jalur Gaza yang terkepung dalam sepekan terakhir menjelang invasi darat Israel yang diperkirakan akan melenyapkan kepemimpinan Hamas setelah serangan mematikan. Saat ini, persediaan makanan dan air di daerah kantong tersebut semakin menipis dan rumah sakit-rumah sakit di sana memperingatkan bahwa mereka berada di ambang kehancuran.

Pasukan Israel, yang didukung oleh meningkatnya pengerahan kapal perang Amerika Serikat di wilayah tersebut dan pemanggilan sekitar 360.000 tentara cadangan, menempatkan diri mereka di sepanjang perbatasan Gaza. Israel mengeluarkan semua komponen, apa yang dikatakan sebagai kampanye besar-besaran untuk menghancurkan kelompok pejuang Hamas. 

Baca Juga

Israel mengatakan telah menyerang puluhan target militer, termasuk pusat komando dan peluncur roket dan menewaskan para komandan Hamas. Para pejabat Israel tidak memberikan jadwal pasti kapan serangan darat dimulai. Namun, hal ini telah diperingatkan oleh kelompok-kelompok bantuan internasional yang akan memperburuk krisis kemanusiaan di Gaza.

Serangan udara selama seminggu ini telah menghancurkan seluruh lingkungan di pusat kota Gaza. Namun, tetap saja gagal membendung tembakan roket pejuang Hamas ke wilayah Israel.

Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan 2.670 warga Palestina telah meninggal dunia dan 9.600 lainnya terluka sejak pertempuran meletus. Jumlah ini jauh lebih banyak daripada perang Gaza 2014 yang berlangsung selama lebih dari enam minggu. Hal ini menjadikannya sebagai perang Gaza yang paling mematikan dari lima perang Gaza yang pernah terjadi bagi kedua belah pihak.

Lebih dari 1.400 warga Israel telah tewas, termasuk di dalamnya warga sipil Israel dalam serangan Hamas pada 7 Oktober. Sedikitnya 155 orang lainnya, termasuk anak-anak, ditangkap oleh Hamas dan dibawa ke Gaza, menurut Israel. Ini juga merupakan perang paling mematikan bagi Israel sejak konflik tahun 1973 dengan Mesir dan Suriah.

Sekitar 500.000 orang, hampir seperempat dari populasi Gaza, berlindung di sekolah-sekolah PBB dan fasilitas lainnya di seluruh wilayah itu, di mana persediaan air semakin menipis, kata Juliette Touma, juru bicara badan pengungsi Palestina PBB.

"Gaza hampir kering," katanya. Badan tersebut mengatakan bahwa sekitar 1 juta orang telah mengungsi di Gaza dalam satu minggu ini.

Penasihat keamanan nasional AS, Jake Sullivan, mengatakan pada hari Ahad, bahwa Satterfield akan fokus untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan kepada warga Palestina di Gaza. Rumah sakit di Gaza diperkirakan akan kehabisan bahan bakar generator dalam waktu dua hari, membahayakan nyawa ribuan pasien, menurut PBB. 

Pembangkit listrik satu-satunya di Gaza ditutup karena kekurangan bahan bakar setelah Israel menutup wilayah sepanjang 40 kilometer (25 mil) setelah serangan Hamas. Di Rumah Sakit Nasser, di kota selatan Khan Younis, ruang perawatan intensif penuh sesak dengan pasien yang terluka, kebanyakan dari mereka adalah anak-anak di bawah usia tiga tahun. 

"Ratusan orang yang mengalami luka parah akibat ledakan bom datang ke rumah sakit tersebut, di mana bahan bakar untuk generator listrik diperkirakan akan habis pada hari Senin (16/10/2023)," ujar Dr Mohammed Qandeel, seorang konsultan di kompleks perawatan kritis tersebut.

Ada 35 pasien di ICU yang membutuhkan ventilator dan 60 pasien lainnya menjalani dialisis. "Jika bahan bakar habis, itu berarti seluruh sistem kesehatan akan mati," katanya, sementara anak-anak merintih kesakitan di latar belakang RS. "Semua pasien ini terancam mati jika listrik terputus."

Hussam Abu Safiya, kepala pediatri di Rumah Sakit Kamal Adwan di Gaza utara, mengatakan bahwa fasilitas tersebut tidak mengungsi meskipun ada perintah dari Israel. Ada tujuh bayi baru lahir di ICU yang terhubung ke ventilator. Mengevakuasi mereka "berarti kematian bagi mereka dan pasien lain yang berada dalam perawatan kami."

Ahmed Al-Mandhari, direktur regional Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), mengatakan bahwa rumah sakit dapat memindahkan beberapa pasien yang dapat bergerak keluar dari wilayah utara, namun sebagian besar pasien tidak dapat dievakuasi, katanya.

Rumah sakit Shifa di Kota Gaza, yang merupakan rumah sakit terbesar di wilayah tersebut, mengatakan akan mengubur 100 mayat di sebuah kuburan massal sebagai tindakan darurat setelah kamar mayatnya meluap. Puluhan ribu orang yang mencari tempat aman telah berkumpul di kompleks rumah sakit tersebut.

Gaza sudah berada dalam krisis kemanusiaan karena kekurangan air dan pasokan medis yang disebabkan oleh pengepungan Israel. "Bencana kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya sedang terjadi di depan mata kita," kata Philippe Lazzarini, kepala badan PBB untuk pengungsi Palestina.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement