Senin 16 Oct 2023 14:39 WIB

Heboh Gerhana Matahari Cincin, NASA Malah Luncurkan 3 Roket, Ada Apa?

NASA meluncurkan tiga roket yang menyasar tepat ke bayangan gerhana.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Natalia Endah Hapsari
Bulan terlihat di balik awan saat mulai bergerak di depan Matahari saat terjadi gerhana matahari cincin. Bertepatan dengan fenomena itu, NASA meluncurkan 3 roket.
Foto: AP Photo/Eric Gay
Bulan terlihat di balik awan saat mulai bergerak di depan Matahari saat terjadi gerhana matahari cincin. Bertepatan dengan fenomena itu, NASA meluncurkan 3 roket.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Banyak orang di berbagai wilayah, termasuk Amerika Serikat, bisa menyaksikan sebagian cincin api dari fenomena gerhana matahari yang berlangsung pada Sabtu (14/10/23). Bertepatan dengan fenomena yang hanya terjadi 10 tahun sekali ini, NASA meluncurkan tiga roket yang menyasar tepat ke bayangan gerhana.

Ketiga roket ini diluncurkan dari White Sands Missile Range di New Mexico. Peluncuran ketiga roket ini merupakan bagian dari misi ilmiah NASA, APEP, untuk mempelajari atmosfer bagian atas bumi selama menurunnya paparan sinar matahari ketika gerhana terjadi.

Baca Juga

Seperti diketahui, saat puncak gerhana matahari terjadi, sekitar 90 persen pancaran sinar matahari akan terhalau oleh bulan. Kondisi ini mengakibatkan paparan cahaya matahari ke bumi menurun dengan sangat drastis.

Minimnya sinar matahari ke bumi selama gerhana sering kali memberikan efek yang aneh pada bumi. Sebagai contoh, perubahan suhu yang cepat, perubahan pola angin, dan bahkan perubahan perilaku hewan.

Selain itu, belum ada banyak informasi yang diketahui mengenai dampak gerhana terhadap atmosfer atas bumi yang bermuatan listrik. Atmosfer yang dikenal dengan nama ionosfer ini terletak sekitar 50-80 km di atas permukaan bumi.

Menurut NASA, seperti dilansir Live Science, Senin (16/10/2023), perubahan pada ionosfer yang berkaitan dengan gerhana terdeteksi saat gerhana matahari total terjadi di Amerika Utara pada 2017. Kala itu, tim peneliti menemukan bahwa radiasi sinar ultraviolet merobek elektron dari atom-atom dan membentuk "lautan" partikel yang bermuatan listrik atau ion sepanjang hari. Lalu saat matahari terbenang, elektron-elektron tersebut bergabung kembali menjadi atom netral sampai matahari pagi terbit dan kembali memisahkan mereka.

Pada momen gerhana matahari total 2017 di Amerika Utara, para ilmuwan menyaksikan proses-proses ini dalam waktu singkat, ketika bulan menutupi cahaya matahari sepenuhnya. Saat pemantauan, terlihat adanya "riak-riak" di ionosfer yang terbentuk ketika suhu dan densitas ion menurun secara cepat, lalu meningkat kembali setelah puncak gerhana berlalu.

Melalui misi APEP, NASA akan memperoleh data yang tak hanya berasal dari daratan tetapi juga dari udara. Dengan mengombinasikan data ini, para peneliti APEP akan mampu melakukan pemantauan yang lebih luas terhadap perubahan di atmosfer yang terjadi ketika gerhana.

Tim peneliti juga berencana akan menggunakan kembali ketiga roket mereka untuk mempelajari gerhana selanjutnya, pada 8 April 2024, seperti dilansir //LiveScience// pada Ahad (15/10/23). Pada misi ini, ketiga roket akan diluncurkan dari Wallops Flight Facility milik NASA di Virginia.

Setelah gerhana pada 8 April 2024, peneliti harus menunggu cukup lama untuk bisa melakukan penelitian serupa. Alasannya, gerhana matahari berikutnya baru akan terjadi pada 2044.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement