Kamis 12 Oct 2023 13:45 WIB

Hoaks Konflik Palestina-Israel Bertebaran, Siapa yang Diuntungkan?

Fenomena banjir hoaks menunjukkan ketidakberdayaan platform media sosial besar.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Natalia Endah Hapsari
Informasi keliru menyebar di media sosial dengan skala dan kecepatan yang jauh lebih besar dari biasanya pada pekan terjadinya serangan pejuang Hamas di Israel.
Foto: EPA-EFE/ATEF SAFADI
Informasi keliru menyebar di media sosial dengan skala dan kecepatan yang jauh lebih besar dari biasanya pada pekan terjadinya serangan pejuang Hamas di Israel.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Konflik Palestina-Israel yang kembali memanas belakangan ini membuat berbagai platform media sosial dibanjiri oleh unggahan terkait konflik tersebut. Sayangnya, tak sedikit dari unggahan atau informasi yang beredar di media sosial merupakan hoaks atau informasi keliru.

Ragam peristiwa besar yang terjadi di dunia memang kerap memicu timbulnya beragam informasi menyesatkan. Akan tetapi, informasi keliru menyebar di media sosial dengan skala dan kecepatan yang jauh lebih besar dari biasanya pada pekan terjadinya serangan pejuang Hamas di Israel.

Baca Juga

Para ahli menilai fenomena ini menunjukkan ketidakberdayaan platform media sosial besar seperti Facebook dan X dalam melawan penyebaran informasi keliru atau hoaks. Salah satu faktor yang dinilai memicu ketidakberdayaan ini adalah besarnya penghematan biaya dan PHK yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan teknologi.

Tindakan Elon Musk selaku pemilik X juga dinilai turut memperkeruh situasi di platform tersebut. Seperti diketahui, Musk telah mengembalikan akun-akun yang selama ini dibekukan karena kerap menebar informasi keliru dan konspirasi tak berdasar.

Selain itu, Musk juga menerapkan program berbagi hasil pendapatan iklan kepada para pembuat konten. Program ini dinilai mendorong para pembuat konten di X cenderung lebih mengutamakan engagement dibandingkan akurasi.

Sebagai contoh, pembuat konten sengaja menyebar informasi keliru agar mendapatkan banyak view hingga like yang boleh jadi berujung pada cuan. Padahal, informasi keliru yang disebarkan berpotensi membawa kerugian di dunia nyata, seperti memperbesar kebencian dan kekerasan yang terjadi di negara-negara berkonflik seperti Palestina dan Israel.

"Platform media sosial kewalahan untuk mengikuti perkembangan informasi keliru dan hasutan terhadap kekerasan yang konstan," kata Andy Carvin dari Digital Forensic Research Lab (DFRLab) kepada AFP/, seperti dilansir JapanToday pada Kamis (12/10/23).

Menurut Carvin, perubahan besar yang terjadi pada X telah melemahkan salah satu kekuatan besar platform media sosial yang dulu bernama Twitter tersebut. Kekuatan tersebut adalah memantau berita-berita terkini dan membantu para pengguna untuk membedakan informasi faktual dengan hoaks.

Sebagai contoh, saat ini banyak video cuplikan dari gim yang diunggah di X dengan keterangan bahwa video tersebut diambil saat kelompok Hamas melakukan serangan. Ada pula gambar-gambar yang seakan menunjukkan bahwa tentara Israel ditangkap oleh Hamas. Padahal, gambar tersebut diambil pada 2022 saat latihan militer di Gaza.

Tak hanya itu, AFP juga menemukan adanya beberapa unggahan di X, Facebook, dan TikTok yang "menguak" dokumen dari Gedung Putih, Amerika Serikat. Dokumen tersebut diklaim sebagai bukti bahwa Amerika Serikat menyalurkan bantuan militer senilai 8 miliar dolar AS atau sekitar Rp 125,6 triliun untuk Israel. Padahal, dokumen tersebut merupakan dokumen palsu.

"Banyaknya jumlah video dan gambar rekayasa, palsu, atau lama yang beredar (secara daring) semakin mempersulit orang-orang untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi (di Palestina dan Israel)," jelas analis senior dari Crisis Group Think Tank, Alessandro Accorsi.

Menurut Accorsi, beredarnya beragam gambar dan video seperti ini bisa berdampak sangat besar di dunia nyata. Terlebih, bila gambar dan video menyesatkan yang beredar menampilkan adegan penyekapan korban-korban yang tak bersalah seperti anak-anak. Informasi seperti ini bisa menyulut timbulnya aksi kekerasan oleh masyarakat.

"Dalam krisis seperti serangan teroris, perang, dan bencana alam, orang-orang cenderung mengandalkan platform media sosial untuk mengakses informasi dengan cepat," ujar Chief Executive Center for Countering Digital Hate, Imran Ahmed.

Sayangnya, konten informasi keliru atau hoaks yang membanjiri media sosial membuat masyarakat sulit mengakses informasi yang cepat. Oleh karena itu, Ahmed menilai media sosial merupakan tempat yang buruk untuk mencari informasi yang tepat dan bisa dipertanggungjawabkan.

Carvin menambahkan, saat ini masih banyak jurnalis hingga peneliti berbakat yang memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan informasi faktual dan membantu masyarakat agar mendapatkan pemahaman lebih baik. Akan tetapi, unggahan atau konten yang mereka buat masih sering tenggelam oleh konten-konten yang keliru dan menyesatkan. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement