REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Satgas penanggulangan bencana Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr. Muhammad Reza M. Biomed Sp.A (K) mengatakan orang tua diminta untuk tidak panik dan tetap tenang saat upaya penyelamatan anak dan keluarga ketika bencana agar anak tidak ikut panik.
“Jika bukan anda yang tenang, maka siapa lagi yang bisa menyelamatkan anak-anak kita, jadi jangan panik, kalau panik anak-anak pasti ikut panik dan menangis,” ucap Reza dalam media briefing Menyiapkan Anak Siaga Menghadapi Bencana yang diikuti secara virtual.
Ia mengatakan, sebagai orang tua harus dibekali pengetahuan dalam memahami persiapan prabencana seperti kemana akan berlari, memilih jalur yang lebih tinggi, mendengarkan siaran radio dan imbauan keselamatan.
Kepala Instalasi Neonatus ICU RSUD Waluyo Jati Kraksaan ini mengatakan, wilayah Indonesia hampir semua berpotensi tsunami karena berada dalam tiga lempeng tektonik yaitu lempeng pasifik, lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia. Dalam mendeteksi bencana tsunami, masyarakat perlu tahu tanda-tanda bahaya sebagai langkah persiapan, seperti gempa bumi yang disertai dengan air laut yang menyusut.
Jika melihat hal tersebut segera bersiap dan berlari ke tempat yang lebih tinggi karena waktu untuk menyelamatkan diri hanya 40 menit sebelum air laut terhempas ke daratan. Perhatikan juga kebiasaan hewan yang berterbangan atau berlarian ke arah kota secara masif seperti unggas dan hewan lainnya sebagai tanda bencana.
Reza mengatakan, saat evakuasi ia menyarankan untuk berjalan kaki dan tidak menggunakan kendaraan, karena akan menimbulkan kemacetan dan semakin sulit untuk menghindari area bencana. Ia juga menambahkan selama masih bisa menerima sinyal, usahakan selalu pantau berita dan mengikuti arahan dari petugas resmi, dan boleh kembali ke rumah setelah dinyatakan aman.
“Jangan lupa memantau informasi dari media resmi, jangan melihat dari media-media yang tidak jelas atau dari kata orang, tetapi perhatikan salah satunya SMS informasi BMKG,” kata Reza.
Ia juga mengingatkan jika terjadi gempa dan tidak ada tsunami, tetap waspada akan gempa susulan yang kemungkinan berpotensi tsunami.
Di sisi lain, bencana banjir juga menjadi kewaspadaan karena musim di Indonesia hanya dua, panas dan hujan. Banjir sering kali terjadi karena curah hujan tinggi dan drainase yang kurang baik akibat pembangunan gedung atau rumah yang tidak ada resapan airnya. Perilaku masyarakat yang kurang menjaga lingkungan juga menjadi faktor utama terjadinya banjir.
Untuk menghindari bencana banjir karena faktor alam, Ia menyarankan untuk menghindari membangun rumah atau menempati rumah yang dekat dengan sungai dengan debit air tinggi dan gorong-gorong yang terbuka.
Selain itu, Reza juga mengingatkan untuk selalu sedia tas bencana berisi surat penting, obat, dan alat keselamatan lainnya, serta mengetahui akses listrik dan gas yang mudah di matikan agar tidak menimbulkan masalah baru saat bencana banjir.
Mengikuti pelatihan kebencanaan juga ia sarankan agar dapat bertahan hidup di tengah bencana dan tahu cara untuk melindungi diri serta bisa membantu mendistribusikan bantuan, dan jika memungkinkan orang tua bisa mendaftarkan asuransi pada anak dan harta benda.
“Ikut pelatihan tujuannya selain untuk menyelamatkan anak dan keluarga tapi juga bagaimana membangun tenda pengungsian, bagaimana distribusi bantuan karena kita juga butuh bantuan dan juga menghindari area rawan banjir di sekitar rumah,” kata Reza.
Pada tahap pasca bencana, Reza mengatakan jaga kebersihan dan kesehatan terutama anak-anak dengan mencari akses air bersih. Selalu sempatkan cuci tangan dan cari akses jamban atau tempat buang air di sekitar pos kesehatan dan buang makanan yang sudah terkontaminasi. Hindari jalan-jalan yang terlihat kabel listrik untuk menghindari risiko tersengat listrik, dan jauhi bangunan yang berisiko roboh.