Rabu 16 Aug 2023 01:42 WIB

Keberlanjutan Pengembangan Ekonomi Syariah Setelah 2024

Arah pengembangan ekonomi syariah Indonesia perlu naik kelas.

Bank BSI.
Foto: Republika/Edwin Putranto
Bank BSI.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Bazari Azhar Azizi, Senior Resident Researcher, BSI Institute

Baru-baru ini Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin menghadiri pengukuhan Komite Daerah Ekonomi dan Keuangan Syariah (KDEKS) Kalimantan Timur di Samarinda. Dalam pengukuhan KDEKS Kalimantan Timur tersebut, Wakil Presiden menegaskan pengembangan ekonomi dan keuangan syariah Indonesia akan terus berlanjut, meskipun era Pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin berakhir.

Selama enam tahun terakhir, komitmen pengembangan ekonomi syariah di Indonesia telah mengalami perubahan dari aspirasi masyarakat ke pemerintah (bottom-up), menjadi kebijakan pemerintah kepada masyarakat (top-to-bottom), sekaligus menunjukkan dukungan pemerintah di tingkat pusat dan daerah dalam mengembangkan ekonomi syariah. Nahkoda utama ekonomi syariah di tingkat pusat adalah Wakil Presiden selaku Ketua Harian KNEKS, serta di tingkat daerah adalah ketua-ketua KDEKS tingkat provinsi yang dipimpin gubernur, wakil gubernur, atau sekretaris daerah.

Secara historis, kebijakan top-to-bottom tersebut sejatinya dimulai saat penyusunan Masterplan Arsitektur Keuangan Syariah Indonesia (MAKSI) pada 2018 oleh Bappenas. Rekomendasi utama dari MAKSI adalah pembentukan Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang diketuai Presiden.

Kemudian, dilakukan penyusunan Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI) 2019–2024 oleh KNKS dan diluncurkan oleh Presiden pada 2019 dengan visi Indonesia yang mandiri, makmur, dan madani, dengan menjadi pusat ekonomi syariah terkemuka di dunia. Selain itu, Presiden turut mendorong transformasi lembaga KNKS menjadi Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) pada awal tahun 2020 melalui Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2020.

Capaian Indonesia

Melalui kebijakan top-to-bottom serta keterlibatan berbagai stakeholder, beberapa capaian telah diraih Indonesia. Pertama, peringkat Indonesia di sektor ekonomi syariah meningkat. The Global Islamic Economy Indicator (GIEI) menempatkan Indonesia pada peringkat keempat pada 2022, dari posisi 10 pada 2018.

Kemudian, pada Islamic Finance Development Indicator (IFDI), Indonesia berada pada peringkat 3 di tahun 2023, meningkat dari posisi 10 pada 2018. Bahkan, Indonesia berhasil meraih posisi pertama pada Global Muslim Travel Index (GMTI) pada 2023.

Kedua, total aset keuangan syariah meningkat dari Rp1.289 triliun pada Desember 2018 menjadi Rp2.451 triliun pada April 2023 (OJK, 2023), rata-rata tumbuh sebesar 11,3% selama 6 tahun terakhir. Market share keuangan syariah terhadap keuangan nasional turut meningkat dari 8,5% menjadi 11% selama kurun waktu tersebut.

Ketiga, market share industri perbankan syariah berhasil naik dari angka 5% terhadap perbankan nasional. Peningkatan market-share tersebut sebagai dampak dari beberapa aksi korporasi dan kebijakan anorganik di industri perbankan syariah, dari merger 3 bank syariah HIMBARA menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI), konversi Bank NTB menjadi Bank NTB Syariah dan Bank Riau Kepri menjadi Bank Riau Kepri Syariah, hingga penerapan Qanun Lembaga Keuangan Syariah di Aceh. Bahkan, saat ini BSI tercatat berada di peringkat ke-13 bank syariah global berdasarkan market capitalization.

Keempat, terbentuknya 3 Kawasan Industri Halal (KIH) di provinsi Banten, Jawa Timur, dan Kepulauan Riau menjadi salah satu pondasi penting untuk menjadikan Indonesia sebagai Global Halal Hub. Kelima, total ekspor produk halal pada tahun 2022 tercatat mencapai 15,87 miliar dolar AS (Kementerian Perdagangan). Melihat beberapa capaian tersebut, Indonesia kini tengah bertransformasi menjadi salah satu pemain utama ekonomi syariah di tingkat global sebagaimana tertuang dalam visi MEKSI 2019–2024.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement