REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Komunikasi Irak mengumumkan telah memblokir aplikasi perpesanan Telegram. Langkah ini diambil untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan keamanan nasional dan penyalahgunaan data pribadi yang melanggar hukum.
Telegram telah menjadi platform yang banyak digunakan di Irak, berfungsi sebagai sarana komunikasi, sumber berita, dan platform untuk berbagi konten. Namun, kementerian mengklaim bahwa aplikasi ini telah salah menangani data pribadi, yang menyebabkan potensi pelanggaran privasi.
Alasan utama yang disebutkan oleh kementerian telekomunikasi Irak untuk memblokir Telegram berakar pada kekhawatiran atas keamanan nasional dan penyalahgunaan data pribadi pengguna. Beberapa saluran pada platform ini diduga mengandung sejumlah besar data pribadi, termasuk informasi sensitif seperti nama, alamat, dan hubungan keluarga warga Irak.
“Kebocoran data tersebut menimbulkan ancaman yang signifikan terhadap privasi individu dan berpotensi membuat mereka terpapar berbagai risiko seperti pencurian identitas dan serangan yang ditargetkan,” demikian pernyataan dari kementerian seperti dilansir Tech Story, Senin (7/8/2023).
Kementerian menyatakan bahwa mereka telah berulang kali meminta Telegram untuk menutup saluran yang bertanggung jawab atas kebocoran data, terutama yang terkait dengan lembaga-lembaga resmi negara, tetapi tidak mendapat tanggapan dari perusahaan tersebut. Kurangnya kerja sama dari Telegram berujung pada keputusan untuk memblokir aplikasi ini sepenuhnya.
Pernyataan kementerian telekomunikasi menekankan komitmennya untuk menjaga integritas data pribadi pengguna. Hal ini menyiratkan bahwa pelarangan tersebut bukanlah tindakan sensor menyeluruh, melainkan tindakan yang ditargetkan terhadap saluran yang telah membahayakan privasi pengguna.
Dengan memblokir Telegram, pihak berwenang bertujuan untuk memastikan bahwa informasi sensitif tidak terpapar pada potensi penyalahgunaan atau akses yang tidak sah, sehingga melindungi warga negara dari potensi bahaya yang timbul dari pelanggaran data.
“Langkah ini merupakan penghormatan terhadap hak-hak warga negara atas kebebasan berekspresi dan berkomunikasi. Larangan ini tidak dimaksudkan untuk membatasi saluran komunikasi secara keseluruhan, tetapi lebih merupakan respons terhadap saluran tertentu yang telah melanggar peraturan privasi data,” kata kementerian.
Hingga laporan ini dibuat, Telegram belum memberikan tanggapan secara terbuka atas larangan yang diberlakukan oleh kementerian telekomunikasi Irak. Kurangnya interaksi dari perusahaan dengan permintaan pemerintah untuk mengatasi masalah privasi data mungkin telah berkontribusi pada eskalasi situasi. Transparansi dan komunikasi terbuka antara platform dan otoritas pengawas sangat penting untuk mengatasi masalah seperti itu secara proaktif.
Pelarangan Telegram memiliki implikasi yang signifikan bagi pengguna di Irak, di mana aplikasi ini telah menjadi sarana komunikasi dan penyebaran berita yang populer. Tanpa Telegram, masyarakat akan menghadapi tantangan dalam mengakses informasi dan berkomunikasi dengan orang-orang terkasih, baik di dalam maupun luar negeri.
Selain itu, bisnis dan organisasi yang mengandalkan Telegram untuk operasi mereka mungkin mengalami gangguan dan kehilangan konektivitas.