Rabu 26 Jul 2023 11:57 WIB

Kejahatan Siber Perbankan Marak, Ini Bedanya di Indonesia dan Luar Negeri

Ada perbedaan mencolok antara kejahatan siber perbankan di Indonesia dan luar negeri.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Natalia Endah Hapsari
Pelaku kejahatan siber cenderung memanfaatkan keterbatasan edukasi mengenai perbankan./ilustrasi
Foto: Unsplash
Pelaku kejahatan siber cenderung memanfaatkan keterbatasan edukasi mengenai perbankan./ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — PT Bank Central Asia Tbk (BCA) berkolaborasi dengan Imajinari meluncurkan seri video edukasi “Nurut Apa Kata Mama” untuk mengedukasi masyarakat terhadap bahaya modus penipuan perbankan. Faktanya, ada perbedaan mencolok antara kejahatan siber perbankan di Indonesia dan luar negeri.

“Memang sekarang kalau kami amati, perbankan belajar cybercrime seperti di luar negeri itu dengan hacker. Di sana cukup elite, karena pendidikannya juga elite,” kata Direktur BCA, Santoso dalam jumpa pers seri video “Nurut Apa Kata Mama” di CGV Grand Indonesia (GI), Jakarta Pusat, belum lama ini.

Baca Juga

Kejahatan di luar negeri dilakukan dengan mencari kelemahan bank dengan cara diretas. Namun, hal tersebut tidak terjadi di Indonesia. “Kalau di Indonesia, mungkin kita agak berbeda,” ujar Santoso.

Meski demikian, bank di Indonesia juga belajar mempersiapkan diri belajar agar jangan sampai terkena retas seperti di luar negeri. Sementara bank cenderung melindungi dirinya agar kebal terhadap peretas, BCA justru melihat adanya cara-cara baru dengan mencari kelemahan dari sisi konsumen. Pelaku kejahatan cenderung memanfaatkan keterbatasan edukasi mengenai perbankan. “Dari konsumen, kelemahannya dengan keterbatasan mengenai edukasi, sehingga munculah penipuan-penipuan,” kata Santoso.

Santoso mengatakan kasus yang terjadi di Indonesia adalah 99,9 persen karena social engineering. Penipu memanfaatkan manusia sebagai makhluk sosial yang mudah percaya, di mana mereka melihat hal ini sebagai peluang.

Santoso menjelaskan social engineering adalah upaya memanfaatkan ketidaktahuan, apakah itu kekhawatiran atau harapan yang berlebihan, untuk bisa mengambil informasi rahasia.

“Ternyata, fraudster (penipu) ini bisa tahu bagaimana memainkan emotional behavior (perilaku emosional) dari nasabah. Inilah yang menjadi kunci social engineering,” ujar Santoso. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement