REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Apa yang terlintas dalam benak Anda ketika disebut kata purbakala? Boleh jadi benak Anda langsung melintas segala hal terkait benda sejarah dan kehidupan masa lampau.
Jangan salah, meski terkait dengan masa lalu, urusan purbakala ternyata tetap terkoneksi dengan pembangunan masa kini. Hal tersebut terungkap dalam peringatan Hari Purbakala Indonesia yang menginjak usia 110 tahun pada 2023 ini.
Sepanjang perjalanan di usia tersebut terdapat dinamika dan perubahan seiring perkembangan zaman. Meski demikian, bidang kepurbakalaan Indonesia tetaplah sama yaitu mengurus berbagai materi budaya peninggalan masa lampau untuk membangun jati diri bangsa Indonesia.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud-Ristek, Hilmar Farid, menekankan bahwa mempelajari peninggalan kepurbakalaan merupakan cara efektif dalam memetakan pembangunan di masa sekarang dan yang akan datang.
“Ilmu kepurbakalaan, antropologi, sejarah, dan humaniora secara umum itu sangat penting untuk terus dipelajari. Karena dengan mempelajari apa yang terjadi di masa lampau, akan sangat menentukan umat manusia dalam perjalanannya di masa depan,” kata Hilmar dalam sambutannya di acara peringatan Hari Purbakala ke-110 di Museum Nasional, Jakarta Pusat.
Ia kemudian mengatakan bahwa ilmu kepurbakalaan maupun ilmu sosial-budaya secara umum, seharusnya diletakkan di hulu pembangunan bangsa Indonesia. Menurut Hilmar, pembangunan bangsa yang terlalu difokuskan pada pertumbuhan ekonomi bisa berdampak pada kerusakan lingkungan, alam serta adat budaya.
“Pertumbuhan ekonomi itu sangat esensial, tapi harus dihitung juga akibat yang bisa muncul. Bidang-bidang kami ini, sejarah, arkeologi, antropologi, yang justru mempelajari itu. Bukan hanya dampaknya, tapi juga bagaimana caranya membangun kearifan lokal,” kata Hilmar.
Hilmar menegaskan, kearifan lokal sebetulnya adalah sumber daya yang luar biasa. Sayangnya, hingga kini belum dimanfaatkan secara optimal, apalagi dalam hal pembangunan.
Hilmar mengatakan bahwa Indonesia sedikitnya memiliki 47 ekosistem alami. Untuk mengenali ekosistem tersebut, mempelajari kepurbakalaan dan pengetahuan lokal menjadi sangat esensial, karena mereka hidup di daerah tersebut selama berabad-abad bahkan ribuan tahun lampau.
“Jadi seharusnya kita ini menyerap pengetahuan yang berkembang dan begitu solid di masing-masing daerah. Karena itu sudah melalui ujian waktu, dan sudah seharusnya titik tolak kita memikirkan sekarang dan masa depan adalah dari mempelajari itu,” kata Hilmar.
Ketua IAAI Marsis Sutopo mengatakan bahwa acara ini bisa menjadi momen untuk mengingat peran lembaga-lembaga kepurbakalaan dalam berbagai bidang kehidupan bangsa.
Lebih lanjut ia juga berharap ke depannya tanggal 14 Juni bisa diperingati sebagai Hari Purbakala Nasional. “Kalau sekarang kan hanya diperingati oleh kita-kita saja. Saya harap ke depannya bisa diperingati secara nasional,” ungkap Marsis.