REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Banyak ketidakstabilan terjadi pada platform media sosial Twitter akhir-akhir ini. Pada tahun 2018, Twitter menandatangani kontrak senilai satu miliar dolar AS dengan Google untuk meng-hosting beberapa layanannya di server Google Cloud perusahaan.
Belakangan, Twitter dilaporkan menolak untuk membayar tagihan dari Google sebelum tanggal perpanjangan kontrak pada 30 Juni. Twitter terburu-buru memindahkan banyak layanan dari infrastruktur Google sebelum kontrak berakhir.
Namun, upaya tersebut berjalan lebih lambat dari jadwal yang dipicu beberapa alat, termasuk Smyte, sebuah platform yang diakuisisi perusahaan pada tahun 2018 untuk meningkatkan kemampuan moderasinya. Jika Twitter tidak dapat memigrasikan sistem ke servernya sendiri sebelum akhir bulan, penutupan akan sangat memengaruhi kemampuan perusahaan untuk memerangi spam dan materi pelecehan seksual anak (CSAM).
Sebelumnya, Smyte sudah menunjukkan tanda-tanda ketegangan, menyusul pengurangan tenaga kerja Twitter oleh Elon Musk. Pada bulan Desember, Musk dilaporkan bertanya kepada tim kepercayaan dan keamanan Twitter mengapa sistem otomatis tidak menangkap pengguna Twitter Blue yang menyamar. Tim telah memberi tahu Musk bahwa sistem tidak stabil selama sepekan.
Dilansir Engadget, Senin (12/6/2023), ketidakstabilan platform telah menjadi ciri khas Twitter 2.0. Belum lama ini, Gubernur Florida Ron DeSantis kesulitan mengumumkan tawarannya untuk pencalonan presiden dari Partai Republik setelah Twitter Spaces tidak dapat menangani masuknya orang yang ingin mendengarkan siaran tersebut.
Ini bukan pertama kalinya Twitter menghadapi laporan penolakan tagihan. Pada akhir tahun lalu, California Property Trust, pemilik gedung yang menaungi kantor pusat Twitter, menggugat perusahaan tersebut karena gagal membayar sewa.