REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kemunculan inovasi teknologi kecerdasan buatan (AI) seperti ChatGPT membuat banyak orang khawatir pekerjaan dan prospek kariernya akan terimbas. Hal itu terungkap dalam sebuah jajak pendapat yang diikuti 2.000 orang dewasa yang bekerja.
Dikutip dari laman Express, Senin (12/6/2023), 56 persen responden khawatir bagian dari pekerjaan mereka dapat diambil alih oleh kecerdasan buatan (AI). Para responden bekerja di bidang teknologi informasi (IT), keuangan, dan lainnya.
Mereka yang bekerja di bidang pendidikan (58 persen) dan SDM (63 persen) juga gelisah dengan teknologi baru ini. Tugas menulis (49 persen), layanan pelanggan (47 persen), dan coding (33 persen) dipandang sebagai yang pertama dapat digantikan oleh ChatGPT.
Namun, karena alat pemrosesan bahasa alami terus berkembang, sepertiga dari mereka yang disurvei tidak tahu harus mulai dari mana untuk meningkatkan keterampilan yang diinginkan pemberi kerja di masa depan. Ada 29 persen responden yang mengakui belum cukup mengembangkan keterampilan untuk perubahan dunia kerja.
Ketika ditanya pekerja industri mana yang paling berisiko terkena AI, bidang terjemahan (37 persen) dan pengembangan web (34 persen) merupakan jawaban yang paling umum. Responden juga percaya pekerja di bidang pemasaran, periklanan, dan hubungan masyarakat (26 persen) harus mulai waspada.
Sekitar 58 persen responden mempertimbangkan ikut berbagai pelatihan untuk bisa bersaing di industri yang menerapkan AI. Sementara, 22 persen responden mengakui bahwa mereka tidak suka merangkul teknologi dengan proses otomatis.
Ada pula 39 persen pekerja yang mempertimbangkan untuk menggunakan ChatGPT untuk membantu beberapa proses dan tugas di tempat kerja. Sebanyak dua dari lima orang bahkan sudah menggunakan ChatGPT untuk membantu di tempat kerja.
Sejumlah 29 persen responden mengatakan tempat kerja mereka telah memperkenalkan AI dalam kapasitas tertentu untuk membantu efisiensi tugas. Dari jumlah tersebut, 82 persen responden telah melihat peningkatan pada produktivitas.
Namun secara keseluruhan, 67 persen tetap khawatir tentang kemampuan ChatGPT menangani tugas kompleks atau kreatif yang membutuhkan penilaian manusia. Sebanyak 83 persen responden percaya bahwa secanggih apa pun teknologi, itu tidak akan pernah bisa menggantikan "sentuhan manusia".
Survei digagas oleh perusahaan pelatihan profesional STL dan dilakukan oleh OnePoll. Hasil lain yang tercatat yakni 67 persen pekerja telah mencoba mempelajari keterampilan baru dalam 18 bulan terakhir.
Sebanyak 88 persen responden merasa penting untuk terus mempelajari keterampilan baru dalam pekerjaan. Ada 74 persen yang menyatakan bersedia menginvestasikan waktu pribadi untuk meningkatkan keterampilan.
Juru bicara STL mengatakan, setiap kali teknologi terobosan muncul, itu dapat membuat pekerja gugup. Sejak ChatGPT diluncurkan, tidak mengherankan banyak yang berhati-hati tentang prospek karier mereka.
Studi STL menunjukkan bahwa para pekerja harus benar-benar mengeksplorasi bagaimana mereka dapat tetap unggul dibandingkan teknologi canggih. Meluangkan waktu untuk mengevaluasi keterampilan yang perlu ditingkatkan akan sangat membantu.
Namun, kehadiran teknologi tidak selalu memunculkan malapetaka dan kesuraman untuk sumber daya manusia. "Dengan teknologi baru, selalu ada peluang baru, dan sama pentingnya untuk belajar bagaimana itu dapat mendukung kita melakukan tugas-tugas tertentu," ungkap juru bicara STL tersebut.