REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mendorong pengembangan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) sebagai upaya untuk menciptakan berbagai solusi dan inovasi. Deputi Bidang Ekonomi Digital, Ketenagakerjaan, dan UMKM Kemenko Perekonomian Mohammad Rudy Salahuddin mengatakan bahwa AI mampu memberikan solusi hemat biaya untuk mengatasi berbagai masalah infrastruktur.
"AI mampu memberikan solusi hemat biaya untuk mengatasi masalah infrastruktur, menyediakan layanan sosial yang lebih efektif, merencanakan sumber daya pendidikan yang berkualitas dan sebagainya," kata Rudy, dalam sebuah diskusi yang dipantau secara daring, Selasa (23/5/2023).
Dalam upaya mendorong pengembangan teknologi AI, Pemerintah melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah menetapkan Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Indonesia 2020-2045 sebagai pedoman utama dalam pengembangan dan penerapan teknologi AI untuk kementerian, lembaga, dan pemangku kepentingan lainnya. Ada lima bidang prioritas kecerdasan artifisial yang ditetapkan, yaitu pelayanan kesehatan, reformasi birokrasi, pendidikan dan riset, ketahanan pangan, serta mobilitas dan kota cerdas.
Adapun empat area fokus strategi nasional kecerdasan artifisial meliputi etika dan kebijakan; pengembangan talenta; penyiapan infrastruktur dan data; serta riset dan inovasi industri.
"Terbentuknya strategi nasional AI adalah bukti bahwa Pemerintah mendorong dan memfasilitasi pengembangan potensi teknologi mutakhir untuk pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan," kata Rudy.
Namun, Rudy menekankan bahwa terlepas dari berbagai manfaat yang diberikan, perkembangan teknologi terkini (emerging technology) juga memunculkan risiko keamanan siber, seperti insiden penyerangan ransomware yang menimpa Bank Syariah Indonesia (BSI) baru-baru ini.
Berdasarkan data Interpol Cyber Assessment (2021) selama periode Januari-September 2020 terdapat 2,7 juta serangan ransomware yang terdeteksi di Asia Tenggara. Indonesia berada di peringkat teratas dengan 1,3 juta kasus. Menurut Rudy, kebocoran data akibat kejahatan siber juga berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi dunia hingga 5 triliun dolar AS pada 2024.