Rabu 29 Mar 2023 17:19 WIB

Seniman Ramai-Ramai Gugat AI yang Tiru Karya Mereka

Sistem AI dinilai dapat meniru gaya seniman dalam hitungan detik.

Rep: Santi Sopia/ Red: Natalia Endah Hapsari
Para seniman ramai-ramai menggugat perusahaan kecerdasan buatan (AI) yang meniru karya mereka. Sistem AI dinilai dapat meniru gaya seniman dalam hitungan detik. Padahal butuh waktu selama bertahun-tahun bagi para seniman asli untuk mengembangkan karya tersebut./ilustrasi
Foto: UNM
Para seniman ramai-ramai menggugat perusahaan kecerdasan buatan (AI) yang meniru karya mereka. Sistem AI dinilai dapat meniru gaya seniman dalam hitungan detik. Padahal butuh waktu selama bertahun-tahun bagi para seniman asli untuk mengembangkan karya tersebut./ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Para seniman ramai-ramai menggugat perusahaan kecerdasan buatan (AI) yang meniru karya mereka. Sistem AI dinilai dapat meniru gaya seniman dalam hitungan detik. Padahal butuh waktu selama bertahun-tahun bagi para seniman asli untuk mengembangkan karya tersebut. Sampai saat ini protes masih terus dilakukan di pengadilan.

Kemarahan para seniman dari komunitas seni mencuat tahun lalu. Hal itu setelah dirilisnya program AI yang secara meyakinkan dapat menjalankan perintah seperti menggambar anjing seperti yang dilakukan kartunis Sarah Andersen.

Baca Juga

Hasil AI yang menggeser cara konvensional dibuat tanpa persetujuan, penghargaan, atau kompensasi pada seniman aslinya. Pada Januari, sederet seniman, termasuk Andersen mengajukan gugatan class action terhadap DreamUp, Midjourney, dan Stable Diffusion, tiga model AI penghasil gambar yang diprogram dengan karya seni yang ditemukan secara daring.

Andersen menilai itu merupakan pelanggaran hak cipta. Dia pertama kali melihat gambar AI yang meniru gaya karya buku komiknya "Fangs". Hal itu memicu reaksi kemarahan di Twitter dan kemudian menjadi viral.

Ternyata banyak seniman lain yang merasakan pengalaman serupa dan bercerita padanya. Para pendukung gugatan berharap untuk membangun preseden hukum yang mengatur model AI generatif yang meniru gaya seniman asli. Seniman ingin pembuat AI dikenakan aturan untuk meminta izin atas karya yang digunakan dalam perangkat lunak pelatihan dengan opsi untuk menghapusnya.

Mereka juga menginginkan kompensasi yang sesuai. "Ada ruang untuk membicarakan seperti apa nantinya," kata Ortiz yang juga berkarya untuk Marvel Studios, dikutip dari Japan Today, Rabu (29/3/2023).

Kompensasi bisa berupa model lisensi dan harus sesuai. Menurut ilustrator Karla Ortiz,  tidak adil bagi seniman jika hanya "mendapatkan sedikit", sementara perusahaan AI memetik hasil jutaan dolar.

Sebelumnya seniman desainer gim video bernama Jason Allen yang tahun lalu memenangkan kompetisi Colorado State Fair dengan karya seni yang dibuat menggunakan Midjourney, sempat membuat pernyataan yang juga memicu kontroversi. "Seni sudah mati, kawan. Sudah berakhir. AI menang. Manusia kalah," kata Allen seperti dikutip The New York Times.

Ada pula Museum Mauritshuis di Belanda yang menuai pro dan kontra karena menampilkan gambar buatan AI yang terinspirasi dari "Girl With a Pearl Earring" karya Vermeer.

Andersen menganggap ini semacam konsekuensi alami dari sesuatu yang mudah, murah, dan dapat diakses. Tentu saja, kata dia, orang lebih mudah menggunakan opsi tersebut, meskipun itu tidak etis.

Perusahaan AI yang disebutkan dalam gugatan, belum menanggapi permintaan komentar. Di sisi lain, pendiri dan kepala eksekutif Stabilitas AI Emad Mostaque menggambarkan perangkat lunak generatif sebagai "alat" yang cenderung "menghasilkan gambar biasa" dan memberikan cara baru "menciptakan ide bagi seniman". Mostaque berpendapat bahwa itu akan memungkinkan lebih banyak orang menjadi seniman.

Namun para kritikus tidak sepakat. Karena ketika seseorang meminta perangkat lunak untuk menggambar dengan gaya seorang seniman, itu tidak menjadikan orang tersebut sebagai seorang seniman.

Di samping itu, sebuah tim di University of Chicago, pekan lalu , meluncurkan perangkat lunak "Glaze" untuk membantu melindungi karya asli. Program tersebut menambahkan lapisan data di atas gambar.

“Meski tidak terlihat oleh mata manusia, namun, bisa bertindak sebagai pengalih untuk AI,” kata Shawn Shan, mahasiswa doktoral yang bertanggung jawab atas proyek tersebut. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement